Bulan Bahasa Bali

Menjaga Alam Sudah Diingatkan di Lontar Bhuwana Purana, Rusaknya Alam itu karena Rusaknya Manusia!

Wahyu mengatakan, inti dari Lontar Bhuwana Purana itu memberikan timbang pandang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, tentang mengelola alam.

ISTIMEWA
Lontar Bhuwana Purana dibedah secara tuntas, dalam Widyatula (seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 23 Februari 2025. Acara ini menghadirkan narasumber, I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa, Praktisi Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Lalu Made Ari Dwijayanti, Dosen STHAN Mpu Kuturan Singaraja selaku moderator. 

Kalau menterjemahkan Lontar Bhuana Purana itu, adalah bhuana yang berarti alam dunia dan purana itu adalah kisah, sehingga Bhuwana Purana itu bisa dikatakan kisah tentang dunia.

“Lalu kapan lontar ini dikarang dan siapa pengarangnya, itu tidak bisa dikatakan secara spesifik. Hanya saja bisa merefleksikan dari tipikal tulisannya dari kutipan-kutipan yang disematkan dalam lontar itu sendiri.

Sehingga Lontar Bhuwana Purana itu ada kaitannya dengan Upanisad, Wasista Tatwa, Upanisad Wajra dan Sucitra Upanisad,” jelasnya.

Artinya, lanjut Wahyu, pemikiran ini sudah cukup tua, ditandakan dengan teks ini yang bukan hanya menggunakaan Bahasa Jawa Kuno, tetapi bercampur Bahasa Sansekerta.

“Hanya saja, Lontar Bhuwana Purana ini memiliki ciri lahir di Nusantara yang salah satu cirinya paling mencolok adalah penggunaan Bahasa Sansekerta Nusantara yang berbeda dengan Sansekerta standar,” imbuhnya. 

Saat ini, Lontar Bhuwana Purana ada di Gedung Kertya Singaraja dan ada di Pusat Dukomentasi Kebudayaan Bali, serta ada pula yang sudah dialihaksarakan.

Bedah lontar yang berlangsung hampir empat jam itu mendapat respon dari mahasiswa dari jurusan Bahasa Bali, para guru serta para Penyuluh Bahasa Bali.

Lontar Bhuwana Purana dibedah secara tuntas, dalam Widyatula (seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 23 Februari 2025.

Acara ini menghadirkan narasumber, I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa, Praktisi Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Lalu Made Ari Dwijayanti, Dosen STHAN Mpu Kuturan Singaraja selaku moderator.
Lontar Bhuwana Purana dibedah secara tuntas, dalam Widyatula (seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 23 Februari 2025. Acara ini menghadirkan narasumber, I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa, Praktisi Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Lalu Made Ari Dwijayanti, Dosen STHAN Mpu Kuturan Singaraja selaku moderator. (ISTIMEWA)

Hal itu dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang diajukan mereka, untuk mengetahui isi, fungsi, manfaat lontar secara lebih mendalam. Lalu, berbeda halnya dengan para siswa setingkat SMA dan SMK yang jumlahnya lebih banyak dari para penyuluh dan mahasiwa itu.

Putu Yunita Suryawati, siswi kelas 11 dari SMA Negeri 3 Kuta Selatan itu mengatakan, acara bedah lontar ini menjadi wawasan dan pengetahuan baru bagi dirinya dan siswa-siswi lainnya khususnya ditingkat SMA dan SMK.

Tetapi dari penyampaian narasumber itu sedikit sulit untuk dipahami karena full mengunakan Bahasa Bali halus. “Jujur, kami kurang mengerti Bahasa Bali halus. Mungkin materi ini bisa disampaikan dengan bahasa yang dicampur dengan Bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia agar kami mudah memahami tentang isi dari acara bedah lontar itu,” katanya.

Memang ada beberapa yang dipahami, tetapi lebih banyak yang tidak dipahami karena menggunakan Bahasa Bali Sor Singgih itu.

Mungkin saja informasi yang disampaikan itu, sudah lengkap dan bermanfaat bagi siswa-siswi sebagai upaya melestarikan budaya Bali, tetapi dirinya yang teradang mengerti dan terkadang tidak.

“Tapi kami sangat yakin, kegiatan ini sangat bermanfaat bagi kami sebagai generasi penerus, tetapi sayangnya memahami sedikit-sedikit,” lanjutnya.

Menurut Yunita, acara bedah lontar itu dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang sangat penting bagi anak muda di zaman sekarang.

Kegiatan ini akan menumbuhkan rasa keingintahuan terhadap isi lontar yang lain, sehingga warisan budaya itu tidak hilang alias punah. “Kalau bisa, diisi selingan apaan gitu, sehingga kami tidak ngantuk. Apalagi, waktunya lebih dari 3 jam, jangan diisi ngomong terus deh,” pintanya.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved