Bulan Bahasa Bali
Menjaga Alam Sudah Diingatkan di Lontar Bhuwana Purana, Rusaknya Alam itu karena Rusaknya Manusia!
Wahyu mengatakan, inti dari Lontar Bhuwana Purana itu memberikan timbang pandang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, tentang mengelola alam.
TRIBUN-BALI.COM - Lontar Bhuwana Purana dibedah secara tuntas, dalam Widyatula (seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 23 Februari 2025.
Acara ini menghadirkan narasumber, I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa, Praktisi Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Lalu Made Ari Dwijayanti, Dosen STHAN Mpu Kuturan Singaraja selaku moderator.
Bedah lontar ini diikuti para siswa dan guru SMA dan SMK, mahasiswa dan Penyuluh Bahasa Bali.
Dalam pemaparanya, Wahyu mengatakan, inti dari Lontar Bhuwana Purana itu memberikan timbang pandang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, tentang bagaimana mengelola alam.
Baca juga: TEWAS Usai Digigit Anjing Liar, Sugiartama Tidak Kembali Berobat Ke Puskesmas & Tidak Dapat VAR
Baca juga: Kunjungan Wisman ke Bali Naik16,54 Persen, Destinasi Wedding di Uluwatu Jadi Salah Satu Acuan Kini

Sebuah etika lingkungan dalam menjaga hubungannya dengan lingkungan. “Sebagai tata Bahasa Bali, kita di Bali sesungguhnya sudah memiliki cara menghadapi lingkungan itu, tetapi tidak ada yang ngeh,” paparnya.
Narasi yang ada dalam lontar itulah, yang disampaikan kepada mereka yang berkepentingan yang dalam hal ini para peserta, selain bisa sampai kepada pemangku kepentingan.
“Ini bukan intervensi terhadap kebijakan, tetapi sebagai timbang pandang dalam setiap keputusan yang akan dibuat oleh pemangku kebijakan itu. Kita sebagai orang awam, harus mempertimbangkan bagaimana alam itu akan meresponnya,” ungkapnya.
Manusia itu tidak terlepas antara manusia sebagai manusia dan manusia sebagai alam. Maka rusaknya alam itu karena rusaknya manusia, dan rusaknya alam itu dimulai dari rusaknya manusia.
“Nah, pemikiran untuk mengupas Lontar Bhuwana Purana ini sebagai pengendag manah membangunkan orang yang sedang tertidur untuk bersama-sama ikut menghadapi keberadan dunia saat ini,” lanjutnya.
Wahyu menagaskan, environmental ethics (etika lingkungan) itu adalah suatu gaya bahasa baru, tetapi terkadang gagap dan gugup ketika menghadapi masalah lingkungan itu.
Seolah-olah orang Bali tidak mempunyai narasi, atau tidak mempunyai cara untuk menghadapi masalah lingkungan dan masalah manusia, seperti itu.
“Kalau saja kita menelusuti lebih dalam teks seperti itu, kita bisa melihat dalam Lontar Bhuwana Purana itu sendiri,” imbuhnya.
Di dalam lontar itu ada timbang pandang dan timbang pemikiran, bahwa lontar itu tidak hanya sekedar berisi ritual.
Artinya, begitu menghadapi musibah ujung ujung menjadi ritual. Padahal dalam lontar khususnya Bhuwana Purana itu ada cara untuk menghadapi masalah lingkungan, masalah bumi, juga masalah manusia selain dari sekedar ritual.
“Saya pikir, Lontar Bhuwana Purana ini sebagai cara untuk menghadapi lingkungan Bali yang tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Disbud Provinsi Konservasi 66 Lontar Wariga, Usada hingga Mantra di Desa Tulikup Gianyar |
![]() |
---|
Bedah Buku Puisi Renganis, Masalah Distribusi Buku Sastra Bali Modern Jadi Perbincangan |
![]() |
---|
LONTAR Tattwa Tentang Dewa & Bhatara yang Berstana di Pura Besakih Jadi Materi Lomba Ngwacen di BBB |
![]() |
---|
DEBAT & Nyurat Aksara Diikuti Peserta SMA/SMK Berlangsung Seru, Rangkaian Bulan Bahasa Bali VII |
![]() |
---|
LONTAR Leak Hingga Wariga Terindetifikasi di Bangli, Penyuluh Konservasi Puluhan Cakep di Kintamani |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.