Berita Bali
PHK Di Mana-mana, Aliansi Perjuangan Rakyat Bali Datangi DPRD, Tuntut Hapus Sistem Outsourcing
Alih-alih didukung, banyak serikat buruh justru menghadapi pemberangusan, intimidasi, bahkan kriminalisasi terhadap pengurus dan anggotanya.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Aliansi Perjuangan Rakyat Bali (APRB) mendatangi DPRD Bali, Selasa 10 Juni 2025.
Kedatangan mereka dalam rangka audiensi terkait maraknya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tenaga kerja.
Ada 11 tuntutan Aliansi Perjuangan Rakyat Bali dalam audensi kemarin. Di antaranya menghapus sistem outsourcing.
APRB menuntut Gubernur dan DPRD Provinsi Bali untuk turut serta mendukung janji Presiden Republik Indonesia yang disampaikan pada peringatan May Day tahun 2025, yakni menghapus sistem outsourcing.
Baca juga: 100 Pekerja Pariwisata Kena PHK, Ketua PHRI Badung: Panggil Lagi, Hunian Mulai Meningkat
Dukungan tersebut harus diwujudkan melalui revisi atau penetapan kebijakan daerah yang melindungi hak-hak pekerja secara menyeluruh, dengan memastikan status kerja sebagai pekerja tetap bagi seluruh jenis pekerjaan yang sifatnya tetap dan tidak bersifat musiman.
Selain itu, APRB mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Bali untuk segera Merevisi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, dengan menambahkan ketentuan khusus terkait dengan serikat pekerja/buruh wajib berada di perusahaan yang jumlah pekerjanya minimal 10 orang.
Penyelenggaraan tersebut wajib berkolaborasi dan berkomunikasi secara intens dengan Federasi Serikat Pekerja atau buruh di Bali.
APRB juga menuntut Gubernur dan DPRD Provinsi Bali untuk secara konsisten mengeluarkan rekomendasi tegas dan mendesak Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali serta Satuan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Bali agar menindak tegas segala bentuk pemberangusan serikat buruh, termasuk tindakan intimidasi, kriminalisasi, mutasi sepihak, hingga pemecatan terhadap pengurus maupun anggota serikat.
Terlebih, di sektor pariwisata dan perikanan, banyak pekerja menghadapi kondisi kerja yang eksploitatif tanpa kehadiran negara yang cukup kuat untuk melindungi mereka.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya perlindungan terhadap kebebasan berserikat.
Alih-alih didukung, banyak serikat buruh justru menghadapi pemberangusan, intimidasi, bahkan kriminalisasi terhadap pengurus dan anggotanya.
Pemerintah Provinsi Bali belum menunjukkan komitmen nyata dalam mendorong kehadiran serikat buruh di perusahaan, terutama melalui pembentukan kebijakan daerah yang memberikan landasan kuat atas hak berserikat, termasuk kewajiban perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang untuk memfasilitasi pembentukan serikat.
Di sektor perikanan, pekerja menghadapi persoalan struktural yang belum tertangani.
Mereka bekerja dalam risiko tinggi namun tidak diimbangi dengan upah yang layak dan perlindungan kerja yang memadai.
Sampai saat ini, belum ada ketetapan resmi mengenai Upah Minimum Sektoral untuk sektor perikanan tangkap.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.