Legong saat itu merupakan tari-tarian yang dipersembahkan untuk raja karena belum berkembangnya tari kreasi.
“Bahkan pada saat itu penari arja, gambuh dan gandrung penarinya semua laki-laki,” jelasnya.
Tapi seiring berkembangnya zaman masuklah wanita untuk menarikan legong, hingga peran lelaki tergeser perlahan.
Saat ini hanya sedikit lelaki yang menarikan legong, lebih banyak tergantikan oleh tarian kreasi yang jarang menggunakan pakem serta durasi yang tidak terlalu lama.
Hingga saat ini masyarakat awam lumrah melihat penari legong perempuan.
Pakaian para penari legong terbilang cukup rumit dan lengkap, karena harus memakai sesimpingan, hiasan di pinggangnya dan kelengkapan lainnya.
Ia menjelaskan nama Ardhanareswari dalam teologi Agama Hindu , Ardha berarti setengah, Nara berarti manusia laki-laki dan iswari artinya manusia wanita. Ini menjadi simbol Tuhan dalam manifestasinya sebagai setengah purusa dan pradana.
Purusa disimbolkan sebagai Siwa dan Pradana disimbolkan sebagai Dewi Uma.
“Jadi namanya bukan kebarat-baratan seperti cross gender, ya ardhanareswari itulah konsep kita di sanggar, konsep setengah laki-laki dan wanita,”jelasnya.
Lelaki yang mengenakan baju putih ini menjelaskan awalnya masyarakat memang berpandangan miring terkait kemampuan kelompok ini dalam membawakan tari Bali.
Tapi setelah mereka pentas penonton biasanya berdecak kagum melihat kelihaian para laki-laki kemayu tersebut menari.
“Setelah di pentas kagumlah mereka, bahkan ada pandangan penari kita lebih luwes dan total dari penari perempuan. Kami menari memang total dari ekspresi dan gerak,” pungkasnya. (*)