TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Tradisi ngurek (menusuk diri dengan keris) kembali makan korban.
Kali ini menimpa Gede Winasa alias Gede Badung, warga Dusun Kelodan, Desa Penglatan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Dada Winasa terluka akibat tertusuk keris saat ngurek di Pura Dalem Purwa Desa Penglatan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tribun Bali, Rabu (24/10/2018), peristiwa ini terjadi pada Selasa (23/10/2018) sekitar pukul 14.30 WITA.
Saat itu Winasa mengikuti upacara piodalan di Pura Dalem Purwa Desa Penglatan.
Saat upacara berlangsung, pria berumur 63 tahun ini tiba-tiba tak sadarkan diri atau kerauhan.
Sejumlah pemedek lainnya juga ada yang mengalami hal serupa.
Dalam kondisi kerauhan, Winasa langsung mengambil keris yang memang tersimpan di areal pura, dan langsung ditancapkan di bagian dadanya.
Pria beruban itu melakukan aksi ngurek.
Namun nahas, keris dengan panjang kurang lebih 30 sentimeter tertancap di bagian dada sebelah kiri Winasa.
Akibatnya, ia mengalami luka tusuk di bagian dada sedalam kurang lebih setengah sentimeter.
Darah segar mengucur di pakaian adat yang ia kenakan.
Warga yang menyaksikan kejadian ini pun terlihat panik.
Luka Winasa kemudian diobati dengan obat tradisional cane.
Keberuntungan akhirnya masih berpihak pada Winasa.
Meski mengalami luka di dada, ia bisa selamat dari maut,
“Dadanya hanya luka sedikit. Mungkin pada saat ngurek, keris yang digunakan sedikit meleset. Korban sampai saat ini biasa-biasa saja. Bahkan tadi (kemarin, red) masih tetap mengikuti upacara di pura," kata Perbekel Desa Penglatan, Nyoman Budarsa, saat dikonfirmasi Rabu (24/10/2018).
Budarsa juga menyatakan pihak desa tidak menggelar upacara penyucian setelah peristiwa tersebut.
“Darahnya tidak sampai menetes ke tanah, hanya di bagian baju saja. Karena itu kami tidak melakukan upacara khusus,” terangnya.
Korban Sering Ngurek
Piodalan Purnama Kelima di Pura Dalem Purwa Desa Penglatan berlangsung selama empat hari empat malam, terhitung sejak Senin (22/10/2018).
Saat kejadian tersebut, kata Budarsa, memang banyak krama yang mengalami kerauhan.
Jumlahnya sekitar 20 orang.
"Untuk kerisnya memang ada di areal pura. Bukan milik perorangan,” tambahnya.
Menurut Budarsa, korban Winasa sudah sering ngurek.
Dan kejadian warga terluka saat ngurek bukan yang pertama kali.
“Korban memang sudah sering ngurek di pura. Bahkan sudah sering ada yang terluka seperti ini. Obatnya ya cane itu, luka langsung cepat kering," tuturnya.
Setelah diberi obat, korban Winasa pun kembali pulang ke rumahnya.
Ia merasa luka di dadanya sudah sembuh.
Namun sekitar pukul 17.30 WITA, korban yang mulanya telah tertidur pulas, tiba-tiba terbangun lantaran darah segar kembali mengucur di bagian dadanya.
Melihat kejadian tersebut, korban pun menghubungi istrinya, dan bergegas menuju ke RSUD Buleleng.
Setibanya di rumah sakit, Winasa langsung diberikan penanganan.
Beruntung luka yang diderita tidak terlalu dalam.
Tim medis hanya melakukan tindakan dengan menjarit luka yang dialami oleh korban.
"Pihak keluarga dan pengempon pura menyatakan kejadian ini murni kecelakaan. Mereka memohon agar kasus tidak dipermasalahkan dan tidak dilanjutkan," kata Kapolsek Kota Singaraja, Kompol Anal Agung Wiranata Kusuma.
Belum lama ini, tradisi ngurek hingga menimbulkan korban pernah terjadi di Desa Nagasepeha, Kecamatan Buleleng.
Bahkan korbannya yang bernama Ketut Sudira (55) sampai tewas akibat tertusuk keris.
Peristiwa maut tersebut terjadi saat korban mengikuti upacara piodalan di Pura Desa Nagasepeha pada 25 September 2018.
Puluhan warga saat itu mengalami kerauhan dan melakukan aksi ngurek.
Termasuk juga korban dalam kondisi kerauhan.
Sudira mengambil keris berukuran sekitar 50 sentimeter yang dibawa oleh seorang pecalang untuk pengamanan di dalam areal pura.
Nahas, keris yang ditancapkan tepat di bagian dada itu membawa malapetaka.
Korban Sudira tersungkur, baju berwarna putih yang ia kenakan dilumuri darah segar.
Warga yang menyaksikan kejadian ini bergegas melarikan korban Sudira ke RSUD Buleleng.
Namun korban yang sudah 10 tahun menjadi sutri di Desa Nagasepeha itu meningggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Timbulkan Efek Tidak Percaya
Dalam dua bulan, sudah dua kali tradisi ngurek memakan korban di Kabupaten Buleleng.
Ketua Majelis Madya Desa Pakraman, Dewa Putu Budarsa pun angkat bicara dengan fenomena ini.
Dewa Budarsa yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (24/10/2018), mengatakan, sebenarnya jika dilihat dari filosofi agama Hindu, bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa berwujud dan juga tidak berwujud.
Jika melihat dari orang yang mengalami kerauhan, kata Dewa Budarsa, itu mungkin ada pengaruh dari butakala atau orang-orang yang tidak senang hingga mengakibatkan terjadinya peristiwa tersebut.
"Orang yang belajar ilmu hitam bisa saja mempengaruhi yang seperti itu. Sehingga dia bisa melakukan hal-hal yang di luar nalarnya," katanya.
Dewa Budarsa pun mengimbau kepada seluruh desa pakraman khususnya bagi para pecalang yang ada di Buleleng, agar lebih meningkatkan sistem pengamanannya.
Utamanya mencegah agar senjata tajam, tidak masuk sampai ke areal pura.
"Pecalang harus tetap waspada. Celang (antisipasi) hal-hal seperti itu jangan sampai terjadi. Kami bukannya tidak memperbolehkan tradisi ini dilakukan, tapi hendaknya waspada,” ujarnya.
Dewa Budarsa berharap kejadian seperti tidak terulang lagi ke depannya.
Sebagai antisipasi, pihaknya berencana mengumpulkan seluruh desa pakraman untuk membahas kejadian ini.
“Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Kalau sudah keluar darah seperti ini pasti menimbulkan efek ketidakpercayaan tentang kekuasaan Sang Hyang Widhi," tutupnya.
Sebelumnya, Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Buleleng, Dewa Suardana, mengaku telah memberikan imbauan kepada para pemangku agar tidak menggelar ritual yang membahayakan nyawa.
Menurut Suardana, ritual ngurek memang sudah menjadi tradisi turun temurun.
Meski demikian, Suardana merasa umat Hindu sudah sebaiknya meninggalkan tradisi tersebut dengan alasan sangat berbahaya. (*)