"Tidak hanya memerah susu lembu putih, ada lima unsur yang kita ambil untuk upacara agung ini," jelasnya
Lima unsur itu antara lain perahan susu, keringat, air liur, air seni dan kotoran lembu tersebut.
Nantinya semua unsur itu dicampur bahan-bahan lainnya untuk menjadi minyak catur.
Selain digunakan untuk komponen utama banten catur, minyak ini juga digunakan untuk banten lain seperti pedudusan dan penyegjeg bumi.
Saat prosesi pemerasan susu, krama desa pakraman berduyun-duyun mendekati lembu putih tersebut.
Pemangku tampak memerah susu lembu itu, sementara krama lainnya beramai-ramai berusaha mengusap tubuh lembu dengan kapas untuk mendapatkan keringatnya, demikian juga air liurnya.
Beberapa krama yang lain berusaha mengambil kotoran dan air seni lembu yang disakralkan masyarakat itu.
Uniknya, ada juga warga yang berusaha mengambil air seni lembu, dan diusapkan ke kepala mereka.
Beberapa warga juga memegang kepala lembu, sembari berdoa.
Koordinator bidang upakara, Dewa Soma mengungkapkan, lima unsur yang diambil dari lembu itu juga digunakan untuk membuat sarana upakara lainnya seperti dodol maduparka, minyak astini, dan bugalabugasri, yang semuanya untuk mendukung pelaksanaan karya agung ini.
"Menurut keyakinan umat Hindu di Bali, lembu merupakan wahana Siwa. Air susu dari lembu ini juga memiliki makna toya sarining amertha atau sumber kehidupan. Dalam Bhagavad Gita ini disebut kamadhuk yang artinya memenuhi keinginan semua makhluk. Jadi nanti susu lembu yang dimaknai sebagai sumber kehidupan, akan dijadikan minyak untuk banten catur atau sarana upakara utama untuk pelaksanaan karya agung di Pura Dasar Buana ini," jelasnya
Baca: Lempeng Ini Pemicu Gempa 5.3 SR Dini Hari Tadi
Baca: Koster: Desa Adat Dapat Gali Pendapatan Sendiri, Harus Berdasarkan Awig-awig dan Pararem
Bendesa Pakraman Gelgel, Putu Arimbawa, bersama petajuh (wakil) Wayan Suandi, petengan (bendahara) Made Suryawan dan Baga Kehumasan Ketut Sugiana mengungkapkan, awal upacara ini diawali dari sumber tertulis yang menceritakan sempat digelar upacara agung yang disebut Homa Yadnya di Kerajaan Gelgel.
Upacara tersebut digelar pada masa keemasan Kerajaan Gelgel, yang dipimpin Dalem Waturenggong sekitar abad ke-15 lalu.
Saat itu, upacara ini dipuput oleh dua orang tokoh agama yang termasyur di masanya, yakni Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka.
"Berdasarkan catatan sejarah itu, kami lalu meminta pendapat ke beberapa sulinggih terkait karya Homa Yadnya ini," jelas Putu Arimbawa.