“MDA ini sudah jalan 18 tahun. Gak ada kaitannya dengan Pemerintah. Kok sekarang dilarang membuat. kita akan luruskan itu,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali Ida Bagus Gede Sudarsana membenarkan jika memang ada beberapa hal yang perlu dijelaskan ke Pemerintah Pusat bahwa desa adat ‘spesial’ di Bali.
Artinya tidak diatur dalam Peraturan perundang-undangan di atasnya, dan Perda desa adat pure memang untuk menguatkan desa adat.
“Misalnya karena dibuat sendiri, pengaturan dan penguatan oleh kita sendiri sehingga ada beberapa istilah, Namun dalam aturan diatas tidak ada. Misalnya kasobyahang artinya diumumkan, tapi koreksi di Pusat adalah dicatatkan. Hal-hal seperti itu yang perlu diklarifikasi dan dijelaskan kembali bersama dengan DPRD ke Kemendagri,” kata Gus Sudarsana.
Hal lain yang diklarifikasi adalah mengenai pendapatan desa adat yang bersumber dari APBN Pusat dan APBD Pemerintah Kabupaten/Kota itu konteksnya adalah ‘dapat’.
Norma pemberian bantuan oleh Kabupaten/Kota yang awalnya dari kata ‘wajib’ diganti dengan kata ‘dapat’.
“Jadi optional dia. Tapi dari situ kita harapkan peran serta dari Pusat dan Kabupaten/Kota juga ada. Sehingga kedepan ketika Kabupaten/Kota mau memberikan bantuan kepada desa adat, maka ada dasar hukum yang diatur dalam Perda desa adat,” ujarnya.
Rencananya minggu depan tim dari biro hukum Pemprov Bali akanberangkat bersama untuk melakukan klarifikasi akhir ke Pusat.
Ia berharap Perda desa adat bisa clear dan segera mendapat nomor register sehingga dapat ditetapkan oleh Gubernur.
Sebelumnya, Perda tentang desa adat telah melalui proses pembahasan marathon dan panjang selama empat bulan hingga dapat diselesaikan dan ‘diketok palu’ oleh DPRD Bali bersama pihak eksekutif, tanggal 2 April 2019 lalu. (*)