Hasil Verifikasi Perda Desa Adat ke Pusat, Beberapa Hal Dikoreksi, Begini Kata Nyoman Parta

Penulis: Wema Satya Dinata
Editor: Ady Sucipto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rapat Kerja-Suasana Rapat DPRD Provinsi dengan eksekutif membahas tentang hasil verifikasi Perda ke Pusat di Ruang Baleg Kantor DPRD Bali, Sabtu (27/4/2019).

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Hasil verifikasi Peraturan Daerah (Perda) tentang desa adat yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali ke Pemerintah Pusat, yaitu Kemendagri, mendapat koreksi pada beberapa bagian materi Perda.

 
Koordinator Pansus  Perda Desa Adat, Nyoman Parta mengatakan setelah dilaksanakan fasilitasi ke Pusat masih ada beberapa materi yang perlu dikonfirmasi kembali ke Pemerintah daerah.

Namun ia menegaskan secara substansi tidak ada permasalahan yang serius sekali hingga menghilangkan materi dari isi Perda tersebut.

Baca: Gara-gara Ulah Anaknya Bertransaksi Game Online, Ibu Ini Terkejut Dapat Tagihan Senilai Rp 12 Juta

 
Hal pertama adalah mengenai bantuan pendanaan ke desa adat dari Pusat dan Kabupaten/Kota karena dalam Pasal 5 menyebutkan desa adat berkedudukan di wilayah Provinsi Bali. 

“Kemarin dalam Perda disebutkan kata ‘wajib’ kemudian diusulkan untuk diubah menjadi kata ‘dapat’, alasannya karena kalau Pemerintah daerah tidak boleh mewajibkan Pemerintah pusat. Kan tidak pas itu,” terang Parta usai rapat kerja dengan eksekutif di Ruang Baleg Kantor DPRD Bali, Sabtu (27/4/2019).

 
Sehingga dengan perubahan itu kedepan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya dapat membantu desa adat namun tidak diwajibkan, karena Perda tidak bisa mewajibkan Pusat maupun Kabupaten /Kota untuk memberi bantuan.

Baca: Kondisi Lapas Kerobokan Disebut Tak Layak & Dekat Area Wisata, Gubernur Bali Rencanakan Relokasi

Koreksi Kedua  adalah terkait dengan hak desa adat berskala lokal khususnya mengelola perkebunan, mengelola pertanian, mengelola peternakan dan mengelola kelistrikan.

“Oleh Pusat itu diminta untuk dihapus karena dianggap tumpang tindih dengan urusan yang ada di desa dinas,” kata dia.

 
Parta menilai koreksi tersebut kurang tepat karena sebelumnya desa adat sudah melakukan pengelolaan pertanian dan peternakan seperti contohnya di salah satu desa adat di daerah Kintamani.

Untuk itu Pihaknya akan coba menjelaskan ke Pusat kalau selama ini sudah ada desa adat seperti itu, yang mengelola peternakan dan perkebunan.

 
“Desa adat kita sudah mengelola perkebunan dan pertanian. Jadi bukan hal yang baru. Bahkan di Desa Selulung,Kintamani punya sapi sekitar 800 ekor. Desa adat yang punya. Itulah yang disebut desa adat mengelola peternakan. Sudah ada prakteknya,”paparnya.

 
Hal Ketiga mengenai masalah pembentukan Majelis Desa Adat (MDA). Pusat mengusulkan agar aturan pembentukan MDA tingkat Kabupaten/Kota dan Kecamatan dihapus.

 
Hal itu disebabkan karena Pusat mengira yang membentuk MDA adalah Pemerintah Provinsi. Padahal sebenarnya yang membentuk MDA adalah desa adat, serta tidak ada kaitannya dengan Pemerintah daerah.

 
Di samping itu, menurut Parta, MDA kecamatan hingga Provinsi sudah ada dalam Perda desa pakraman sebelumnya yaitu Perda  nomor 3 tahun 2001.

Selanjutnya, MDA kembali diatur dalam Perda desa adat tujuannya agar menjadi lebih simple, juga hierarki dan istilahnya menjadi lebih jelas. 

Halaman
12

Berita Terkini