Wawancara Khusus - Tak Perlu Takut Beralih ke Pertanian Organik, Ini yang Harus Diperhatikan

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana
Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Akademisi yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS, saat ditet di Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Unud, Selasa (7/5/2019)

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Saat ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berinisiatif membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sistem Pertanian Organik.

Melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Bali, telah diselesaikan kajian akademis mengenai Perda tersebut dan sudah diumumkan melalui rapat paripurna internal pada Senin (6/5/2019).

Pada kesempatan tersebut, naskah akademiknya juga telah diserahkan ke pimpinan DPRD Bali.

Segenap anggota DPRD yang hadir pada rapat paripurna internal itu menyetujui raperda tersebut menjadi salah satu kebijakan atas inisiatif dewan.

Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Bali I Gusti Putu Budiarta mengatakan, disusunnya Perda Mengenai Sistem Pertanian Organik sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan Bali yang hijau.

Menurut dia, selama ini Bali seringkali dikeluhkan oleh wisatawan, khususnya mancanegara, bahwa Bali selalu dipenuhi dengan sampah anorganik.

Dengan Perda Sistem Pertanian Organik ini diharapkan nantinya mampu mengubah sudut pandang wisatawan bahwa Bali sebagai pulau yang hijau dan organik.

Baca: Pertanian Organik Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir, Dewan Usulkan Pemerintah Beri Subsidi Hasil

Selain itu, hadirnya perda ini juga sebagai upaya untuk mengubah pemikiran para petani.

"Kalau dulu kan kita punya pupuk organik seperti kompos. Kemudian kita juga punya varietas-varietas unggul. Seperti dulu padi padi lokal Bali itu luar biasa itu. Nah setelah ada sistem dari petani yang menggunakan teknologi yang lebih dan dengan menghasilkan yang lebih cepat ini varietas-varietas kita hilang semua," kata dia.

Menanggapi inisiatif dari DPRD Bali yang akan menyusun Perda tentang Sistem Pertanian Organik, Tribun Bali berhasil melakukan wawancara khusus dengan Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS, Selasa (7/5/2019 di Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud)

Prof. Rai merupakan akademisi yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian Unud.

Berikut isi wawancara Tribun Bali.

Bagaimana tanggapan Bapak soal dirancangnya Perda Sistem Pertanian Organik ini?

Nah pertama tentu saya mengapresiasi untuk membentuk sistem pertanian organik ini.

Karena paling tidak dengan adanya rencana atau keinginan untuk membentuk perda pertanian organik itu redesign pemikiran dari para eksekutif dan legislatif di Bali tentang bagaimana sih pertanian Bali itu ke depan.

Paling tidak tentang pertanian organik ini. Itu yang pertama jadi saya apresiasi.

Tetapi di balik itu banyak hal yang harus didiskusikan dan dibicarakan oleh pihak provinsi dengan akademisi, dengan pelaku pertanian, terutama sekali masyarakat petani.

Karena ujung-ujungnya yang kena dampak paling besar ini kan masyarakat petani.

Baca: Punya Tiga Manfaat Penting, PG Sosialisasikan Pupuk Organik

Yang perlu dibicarakan dengan baik saya kira dalam Perda Sistem Pertanian Organik ini pertama tentang definisi dan lingkup dari pertanian organik itu.

Pertanian organik dimaksud yang mana gitu kan. Ada yang pure organik. Ada yang semi organik. Ada yang kombinasi antara organik, nonorganik dan sebagainya. Ini harus jelas.

Kalau pure organik itu kan melarang sama sekali penggunaan bahan-bahan kimia sintetis, pupuk, pestisida, kemudian benih rekayasa genetika dan lain sebagainya.

Jadi air pun sesungguhnya yang mengalir dari hulu yang di hulunya sudah menerapkan pertanian non-organik ketika air mengalir ke pertanian organik, bukan pertanian organik namanya kalau dia pure organik.

Jadi ini harus jelas definisi mana kira-kira cocok di Bali. Apakah pure organik, semi organik atau model sistem pertanian organik yang mana?

Nah kenapa ini penting dibicarakan definisi dan ruang lingkup ini? Karena terkait kepada implementasinya.

Implementasi dari pertanian organik ini tentu ujung-ujungnya jangan merugikan petani.

Baca: Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Lewat Perda Sistem Pertanian Organik

Ketika perda ini diterapkan lalu nanti ada sanksi.

Kemudian harus ditetapkan kawasan ini harus pertanian organik apakah semi organik dan sebagainya ujung-ujungnya yang memikul kan para petani.

Jangan lalu implementasinya nanti itu membuat petani menjadi terbatas pilihannya, kemudian merugikan petani dan ketika hasilnya nanti organik tentu ini harus mendapatkan penghargaan lebih dari non-organik.

Petani melakukan pertanian organik, pangsa pasarnya sudah jelas belum?

Sampai ke situ nantinya mesti harus diarahkan.

Nah ini yang perlu saya kira dibicarakan sangat baik ketika nanti kita penetapan perda pertanian organik.

Di satu sisi saya kira baik, tetapi di sisi lain harus menggali sedalam-dalamnya agar sistem pertanian organik yang ditetapkan dalam bentuk perda ini satu definisinya jelas, dua implementasinya nanti tidak merugikan petani tetapi justru nanti bisa menguntungkan petani dan kesejahteraan petani menjadi meningkat.

Dan yang terpenting tentunya adalah konservasi lingkungan.

Kalau nanti pertanian organik ini dijalankan, lalu nanti sarana prasarana produksinya gimana?

Baca: Upaya Dorong Pertanian Organik, Bali Harus Berani Hadapi Sistem Kapitalis

Apakah petani dibiarkan untuk mengadakan sendiri tanpa ada kontribusi dari di pemerintah?

Ini juga harus diatur dalam perda itu karena dengan urea untuk padi gitu misalnya contohnya kita cukup mungkin 200 sampai 300 kg per hektar.

Tergantung lokasinya di mana kan gitu. Fosfor misalnya, pupuk P, cukup 150 sampai 250 kg per hektar.

Tetapi kalau nanti beralih ke pertanian organik dan kalau nanti itu pure organik kan nanti itu harus diganti dengan pupuk organik.

Lalu di mana petani mendapatkan itu dalam jumlah yang besar. Itu bisa berton-ton.

Lalu jalan-jalan usaha tadi ketika untuk mengangkut misalnya, jalan usaha tani yang belum bagus, petani yang letaknya di pelosok misalnya, pengangkutannya bagaimana dan sebagainya.

Itu kan dampaknya nanti satu regulasi ditetapkan, dua infrastruktur pertanian juga harus dipikirkan. Dan ketika nanti itu tidak secara holistik dipikirkan saya takutkan nanti tidak jalan gitu.

Jika beralih dari pertanian konvensional ke organik ditakutkan terjadi penurunan kuantitas produksi. Bagaimana menyikapi ini?

Kalau masalah itu jangan khawatir petani yang sudah biasa melaksanakan pertanian konvensional dengan pupuk sintetik kemudian pestisida sintetik dan sebagainya bisa saja beralih ke pertanian organik.

Nah untuk beralhir dari konvensional ke pertanian organik ini kan ada tahapannya.

Baca: Dorong Beralih ke Pertanian Organik, Pemprov Bali Berencana Siapkan Insentif bagi Petani

Tahun pertama barangkali tidak langsung bisa diklaim sebagai hasil organik.

Tahun kedua nah barangkali juga belum.

Nah tahun ketiga, keempat dan seterusnya sudah boleh dikatakan produk yang dihasilkan produk organik.

Dan ketika nanti beralih ya barangkali ada semacam penurunan produksi di tahap transisi itu.

Tapi begitu terus dia dilakukan secara organik, menurut saya bukan menurun (tapi) malah meningkat karena kesehatan tanah dan lingkungan itu menjadi semakin baik.

Ketika kita melakukan pertanian konvensional dengan pupuk sintetik, pestisida sintetik dan sebagainya maka persediaan hara itu akan cepat tersedia tetapi merusak sifat kimia fisik biologis tanah.

Nah ketika kita transformasi ke sistem pertanian organik dengan pupuk yang mencukupi tentunya maka sifat fisik, kimia dan biologis tanah itu akan menjadi semakin baik.

Mikroorganisme semakin baik dan lain sebagainya, karena dia tidak menggunakan pupuk sintetik.

Jadi sistem hama (dan) penyakit kembali ke sistemnya dia.

Dan jangan khawatir, itu akan menjadi semakin baik dan lingkungan akan menjadi semakin konservatif.

Kita back to nature, tidak ada yang mengalahkan sistem alami yang kalau kita lakukan dengan baik.

Baca: Kajian Akademis Rampung, DPRD Bali Siapkan Perda Sistem Pertanian Organik

Dibandingkan kita meneruskan sistem yang menggunakan pupuk berlimpah, pestisida intensif tanpa terkendali itu kan banyak membunuh musuh alami.

Kemudian mikroorganisme yang ada di tanah lingkungan bersih itu akan terbasmi secara tidak sengaja.

Padahal yang kita ingin bunuh sebenarnya kan yang negatif.

Tapi dengan menggunakan pestisida sintetik yang kita bunuh semuanya termasuk yang berguna gitu.

Mikroorganisme di dalam tanah lingkungan kan ada yang positif bagi kita, ada yang negatif.

Maksudnya menggunakan pestisida itu kan mengendalikan atau menghilangkan yang negatif tetapi dampaknya justru kita membunuh termasuk hal yang positif itu yang berguna bagi kita.

Nah kalau kita sekarang ke pertanian organik yang positif kita tingkatkan yang negatif itu kita kendalikan dengan menggunakan biopestisida, dengan pupuk organik.

Sehingga dia secara alami kesehatan dan kesuburan tanah dan lingkungan semakin bagus.

Sehingga menurut saya produksinya tidak turun mestinya.

Jangan itu ditakuti, karena banyak bukti menunjukkan ketika orang melakukan pertanian organik dengan baik, itu kesehatan tanah sosial lingkungan bagus maka produktivitas tanah juga akan semakin bagus. Tidak khawatir di situ saya.

Baca: Petani Kopi Bali Harus Hasilkan Kopi Berkualitas, Organik dan Ramah Lingkungan

Dalam implementasinya, dari mana pertanian organik ini bisa dimulai?

Pertama tentang jenis tanaman dulu , apa yang akan di organikkan dalam sistem pertanian organik ini.

Apakah ujug-ujug misalnya segala jenis tanaman.

Mestinya harus dipilih tanaman-tanaman atau komoditas yang pasarnya sudah jelas.

Atau barangkali potensi pasarnya sudah dipetakan sedemikian rupa.

Ketika ini dicantumkan dalam perda petani akan tertarik melakukan itu, pasarnya lalu jelas, infratruktur yang mendukung nanti jelas.

Yang kedua tentang lokus ya, deliniasinya dimana. Nah bagaimana menentukan deliniasi ini, apakah nanti secara sporadis misalnya pokoknya dicantumkan di seluruh Bali.

Atau pada tahap awal ditentukan lokasi-lokasi tertentu dengan kriteria yang memungkinkan untuk melaksanakan itu.

Katakanlah misalnya kalau beras (atau) padi. Padi misalnya pada lokasi yang dekat dengan sumber air dan letaknya misalnya di hulu.

Karena dia sumber airnya di hulu dan belum ada yang merecoki menggunakan pestisida buatan kemudian pupuk anorganik dan sebagainya maka begitu air keluar dari situ sudah layak untuk mengairi lokasi (atau) tempat pertanian organik akan dilaksanakan.

Tinggal sekarang pestisidanya diganti dengan biopestisida.

Atau barangkali tempat-tempat tertentu yang lokasinya dengan dengan pasar.

Nah kalau ini kan harus dipikirkan dengan sedemikian rupa sehingga dalam perda itu jelas.

Jadi tidak hanya berkaitan dengan lokasi tapi juga jenis tanamannya.

Misalnya tanaman perkebunan kopi misalnya per kecamatan (diambil). Kintamani atau barangkali Pupuan.

Ambil misalnya di sentra-sentra produksi yang saat ini proses atau sistem pertaniannya sudah mengarah ke situ.

Salak misalnya, ya sudah salak untuk di Karangasem ditetapkan sebagai salak organik begitu misalnya. Jadi deliniasinya jelas.

Ketika perdanya sudah jadi harus ada semacam percontohan-percontohan yang bisa digunakan sebagai best practice bagi petani sekitarnya.

Misanya salak Bali begitu, jadi angkatlah satu percontohan di satu (atau) dua desa tertentu.

Kemudian diberikan semacam pendanaan, infrastruktur, sarana prasarana, dilibatkan perguruan tinggi untuk melakukan pendampingan di in farmn-ya, lalu bagaimana off farm-nya, bagaimana penasarannya dan lain sebagainya, sehingga nanti segaka teknologi organik yang ada (dan) yang sudah kita miliki, baik yang dimiliki okeh masyrakat, perguruan tinggi, balai pengkajian pertanian dan dadi semua sumber lalu kita terapkan di kebun percontohan ini.

Nah itu digunakan sebagai sarana belajar bagi petani-petani di sekitarnya yang ingin mengembangkan organik untuk tanaman sejenis.

Jadi harus ada semacam percontohan yang dikeroyok secara bersama-sama.

Pemerintah ikut di dalamnya, perguruan tinggi ikut mendampingi kemudian pihak swasta misalnya sebagai buyer nantinya itu ya harus terlibat di situ.

Ketika nanti ada yang dihasilkan dari kebun percontohan itu diserap oleh buyer secara langsung.

Supaya ada semacam supply and demand itu berjalan dengan lancar di tingkat produksi yang dihasilkan. (*)

Berita Terkini