Namiartha Bingung Ada Selisih Silpa, Sidang Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Klod
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Mantan Perbekel Desa Dauh Puri Klod, IG Made Wira Namiartha duduk sebagai saksi di persidangan Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (11/3/2020).
Pria yang kini menjadi anggota DPRD Kota Denpasar itu memberi keterangan terkait dugaan korupsi APBDes 2017 Dauh Puri Klod, Denpasar Barat, dengan terdakwa mantan bendahara Ni Luh Putu Ariyaningsih (33).
Selain Namiartha, sejumlah saksi juga didengar keterangannya.
Dalam jalannya persidangan, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikomandoi Kasi Pidsus Kejari Denpasar, I Nengah Astawa mencecar Namiartha dengan sejumlah pertanyaan.
Tim jaksa menanyakan seputar pengelolaan keuangan desa, tupoksi saksi selaku perbekel dan pertanggungjawaban mengenai adanya selisih sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
Terungkap buruknya pengelolaan keuangan Desa Dauh Puri Klod sejak 2010.
Mulai dana yang ditarik tidak sesuai kebutuhan, dana yang ditarik tidak terealisasi kegiatan hingga dana pendapatan desa dipinjam untuk kepentingan pribadi para aparatur desa.
"Saya hadir di sini karena ada laporan silpa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ada Silpa yang tidak ada uangnya sebesar Rp 720 juta. Itu hasil audit," jelasnya mengawali kesaksian.
Kemudian jaksa menanyakan langkah saksi dengan ditemukannya selisih Silpa.
"Saya disarankan membentuk tim dan menyelesaikan secara kekeluargaan. Hasilnya terdakwa mengakui. Kemudian dibuat surat pernyataan, bahwa terdakwa mengakui dan akan mengembalikan uang itu," jawab Namiartha.
Ditanyakan terkait pengembalian keuangan oleh Namiartha ke kas desa, setelah ada temuan audit, sejumlah perangkat desa kemudian mengembalikan uang.
Lagi-lagi Namiartha berkelit.
• Sidang Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Klod, Para Saksi Ungkap Peran Mantan Perbekel
• Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Klod, Ariyaningsih Didakwa Pasal Berlapis
Katanya uang yang dikembalikan merupakan uang titipan dari salah satu petugas pungut desa yang sempat kasbon.
"Sebagian (pengembalian) saya pinjamkan dari uang desa, sebagian saya talangi uang pribadi karena petugas yang meminjam itu sudah meninggal dunia," jelasnya.
Sebagai kepala desa, Namiartha dianggap lalai dalam menjalankan pengawasan.
Sehingga terjadi penyelewengan dana hingga ratusan juta.
"Saya sendiri bingung setelah ada audit dari BPMPD dan Inspektorat. Kenapa kok bisa ada selisih silpa. Saya bingung," jawabnya.
Saat ditanya jaksa mengenai dari mana dirinya mengetahui ada selisih dana silpa.
"Saya juga tidak tahu uang pungutan yang diterima bendahara bisa dipinjam dan digunakan untuk insentif," imbuh Namiartha.
Saat dicecar mengenai tugasnya sebagai perbekel yang bertanggungjawab atas penggunaan uang desa, Namiartha berdalih banyak kegiatan yang harus dijalani sehingga dirinya tidak bisa mengecek rekening desa.
Ketidaksesuaian antara buku kas umum dengan rekening desa terjadi sejak 2014.
Anehnya, Namiartha tetap tanda tangan pencairan dana meski terdakwa Ni Putu Ariyaningsih (mantan bendahara) tidak melampirkan SPJ.
“Kok bisa. Tidak ada SPJ tapi anda menandatangani slip penarikan. Kewajiban Anda itu memonitor dan mengawasi pengelolaan keuangan desa," ucap Hakim Anggota Hartono.
Namiartha mengaku tidak menguasai masalah keuangan.
Namiartha juga menyalahkan terdakwa dan sekretaris desa yang bertugas memverifikasi pencairan dana.
Namiartha menyebut proses pencairan dana diawali laporan kepala seksi (kasi) kepada sekdes, lalu sekdes konfirmasi ke bendahara untuk menyiapkan penarikan uang sesuai RAPBDes.
• Ariyaningsih Jalani Pelimpahan Tahap II, Akan Ada Tersangka Lain Kasus Dugaan Korupsi Dauh Puri Klod
• Sehari Sebelum Sidang, Tersangka Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Klod Kembalikan Uang Rp 778 Juta
Setelah itu dokumen diverifikasi lagi sekdes.
Barulah sekdes melaporkan secara lisan pada perbekel.
Tahap akhir barulah perbekel tandatangan slip pencairan dana ke bank.
Jika perbekel berhalangan menyertakan surat kuasa.
Saat dikejar jaksa kenapa penarikan dana di bank beberapa kali lebih besar dari RAPBDes, Namiartha menyebut kelebihan dana itu untuk kas tunai pembiayaan operasional kantor.
Seperti pembayaran listrik, air, telepon, dan keperluan mendadak.
Saksi Menyangkal
Ditemui usai sidang dan dikonfirmasi mengenai sumber uang yang dikembalikan oleh suami terdakwa yang diduga uang sebesar Rp 778.176.500 diberikan olehnya, Namiartha membantah.
"Tidak ada. Saya tahunya malah di koran (berita). Saya tidak mau banyak komentar memojokkan sana-sini," katanya.
Disinggung janji akan memberikan bantuan pada terdakwa jika mau mengakui menggunakan dana, Namiartha kembali berkelit.
Pun saat ditanya tudingan terdakwa, bahwa perbekel pernah menarik dua kali sendiri, Namiartha kembali menyangkal.
"Saya tidak pernah menarik sendiri. Selalu berdua dengan bendahara," ucapnya.
Hasil Audit Disembunyikan
Fakta baru diungkapkan saksi I Putu Gede Sudiarsa.
Sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Sudiarasa memilik tugas mengawasi kinerja kepala desa.
Sudiarsa mengaku mengetahui ada silpa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Kami minta kepala desa coba dicek, kenapa kegiatan tidak bisa dilaksanakan padahal sudah direncanakan. Akhirnya dijawab, sebagian uang silpa tidak ada di rekening desa,” jelas pria paruh baya itu.
Akhirnya BPD menyarankan diadakan audit.
"Tapi, hasil audit itu tidak pernah dibuka dan dikasih pada kami. Mereka (kepala desa dan perangkatnya) beralasan hasil audit bukan wewenang BPD. Akhirnya kami tidak bisa berbuat banyak," ungkap Sudiarsa.
Selain Namiartha dan Sudiarsa, saksi lain memberikan keterangan adalah Made Wardana (mantan perbekel), IB Joni (mantan camat Denbar), I Made Mertajaya (Kadis Sosial dan mantan Kepala BPMPD), dan Gusti Ayu Sri Saraswini (pegawai BPD Bali).
(*)