Pokoknya bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa ini memiliki kosa kata yang kaya dan niscaya dipahami secara baik oleh segenap lapisan masyarakat.
Fidelis Bata Dosi, keluargaku dari garis ayah yang drop out kelas V SD di kampung pedalaman Flores, mengaku hanya bisa garuk-garuk kepala saat pertama kali mendengar istilah physical distancing di televisi.
“Saya bingung,” ujarnya.
Dr Marsel Robot, dosen senior Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, menyebut kegandrungan menggunakan istilah asing itu gejala psikologis semacam gengsi atau prestise.
Mereka beranggapan menggunakan istilah asing lebih keren, lebih hebat. Padahal dia sendiri tidak mengerti asal usul istilah tersebut.
Kedua, menutup kenyataan dengan cara menghaluskan bahasa yang sering disebut eufemisme.
“Hasilnya membingungkan dan tidak menggugah orang melakukan sesuatu.
Inilah cara merendahkan martabat bahasa Indonesia oleh anak bangsa sendiri,” kata Marsel Robot yang mengemban tanggung jawab selaku Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana.
Syukurlah belakangan pemerintah mulai menggunakan bahasa Indonesia ketika menggulirkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerah zona merah pandemi Covid-19 semisal DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Meski demikian, PSBB tetap saja melahirkan secuil tanya, mengapa pemerintah tidak menggunakan diksi “Skala” (Pembatasan Sosial Skala Besar) saja tetapi “Berskala”?
Para pakar bahasa Indonesia tentu lebih piawai menjelaskan fungsi imbuhan tersebut.
Prahara Mudik
Dua tiga hari terakhir ramai nian di jagat maya dan jagat nyata diskusi soal mudik atau pulang kampung.
Muncul pengamat bahasa dadakan dan pengamat yang benar-benar ahli.
Tak ketinggalan bumbu penyedap diskusi berupa kritik dan nyinyir. Pun mengarah ke perundungan.