Sulit menampik kenyataan bahwa diksi 'mudik' sangat populer dalam suasana Lebaran, baik menjelang, hari H ataupun sesudahnya. Mudik kemudian diasosiasikan dengan Lebaran.
Mudik mengalami pergeseran makna secara semantik karena asal usul sesungguhnya tidak dikaitkan
dengan Lebaran.
Apapun itu, keduanya, entah mudik atau pulang kampung, tak patut dilakoni pada masa pandemi Covid-19 ini agar bisa memutus mata rantai penyebaran virus Corona. Prahara menanti bila orang tetap nekat. Mengapa?
Coba perhatikan data pergerakan kasus Covid-19 di Indonesia. Grafiknya masih terus menanjak. Sampai Sabtu 25 April 2020 tercatat 8.607 orang yang positif atau ketambahan 396 kasus baru dari kondisi sehari
sebelumnya.
Sebanyak 6.845 dirawat, 1.042 orang sembuh dan 720 yang meninggal dunia.
Kondisi di Bali pun setali tiga uang. Bali tetap masuk 10 besar provinsi di Indonesia dengan kasus tertinggi.
Sampai 25 April 2020, Bali bertahan di urutan ketujuh klasemen dengan pasien positif 183 orang, bertambah 6 dari sehari sebelumnya.
Meninggal dunia 4 orang, sembuh 70 orang dan masih dalam perawatan 109 orang.
Jumlah kasus diprediksi masih bertumbuh tambun sehingga langkah pemerintah melarang masyarakat mudik, meski sejumlah pihak menganggapnya telat, merupakan pilihan bijak dan tepat.
Pemerintah sudah bertindak tegas, menghentikan penerbangan pesawat komersial mulai 24 April hingga 1 Juni 2020.
Demikian pula moda transportasi darat dan laut dengan beberapa pengecualian seperti angkutan kargo dan lainnya.
Larangan tersebut dikunci melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) RI Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Ada sanksi bagi pelanggar berupa denda Rp 100 juta dan penjara 1 tahun.
Aparat negara pun mulai bertindak lugas dan tandas.
Sebagai misal di Kabupaten Jembrana, rekan kami jurnalis Harian Tribun Bali I Made Ardhiangga melaporkan, sampai Minggu pagi 26 April 2020, polisi mencegat 465 orang yang hendak pulang ke Jawa. Mereka akhirnya kembali ke rumah.
Ketegasan aparat di lapangan sangat penting. Jangan sampai aparat main mata atau main kelingking alias kongkalikong dengan pemudik atau mereka yang mau pulang kampung.
Sangat perlu mewaspadai kemungkinan tersebut karena di ini negeri ada saja oknum yang suka menggayung di air keruh.
Memanfaatkan setiap celah guna menguntungkan diri sendiri.
Tenteram dan Makmur
Omong-omong soal pulang kampung, boleh jadi merupakan pilihan sebagian masyarakat karena alasan sosial ekonomi.
Di tengah badai pandemi Covid-19, mereka terpaksa pulang kampung karena tidak ada pendapatan
lagi di kota lantaran roda ekonomi bukan cuma mati suri tapi sekarat.
Seudik-udiknya kampung, ada suatu keutamaan di sana yang tak dipunyai kota yaitu modal sosial. Tak semata ekonomi. Modal sosial berwujud kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan.
Kalau tuan lapar, masih boleh berharap pada kebaikan hati paman, bibi, kakak, adik, saudara, tetangga, teman.
Mereka mungkin miskin secara ekonomi tetapi dalam kemiskinannya masih mau berbagi.
Kampung dalam situasi seperti sekarang jelas jauh lebih baik ketimbang seseorang bertahan di kota yang egois dan cenderung individualis.
Dia bisa mati lapar dan haus karena tak ada orang yang peduli.
Ketika kembali ke desa atau kampung, teringat jaring pengaman sosial paling klasik dan ampuh di negeri gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya) yaitu sektor pertanian dan
kelautan.
Tapi siapakah petani Indonesia itu? Siapakah nelayan Nusantara? Apakah mereka hidup tenteram dan makmur sehingga saat krisis krisis seperti saat ini kaum urban berbondong-bondong mudik. Berduyun-duyun pulang kampung.
Gemah ripah loh jinawi, betapa kaya alam raya Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, Miangas sampai Pulau Rote.
Jangan-jangan itu cuma angan, kawan. Toh ini negara agraris impor sembako melulu, dari beras, bawang putih hingga garam dapur.
Setiap kali ingat kampung, entah mengapa, saya selalu suka mendengar lirik lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu.
Maklum lirik lagu karya Yon Koeswoyo ini terinspirasi dari Kolam Susuk, sebuah danau eksotik di Pulau Timor, persisnya di pesisir wilayah Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimuu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Benarkah tanah kita masih tanah surga?
Hingga tongkat kayu dan batu akan tetap jadi tanaman?
Tanaman yang menghidupkan khalayak marhaen.
Apakah negeri ini masih gemah ripah loh jinawi ?
Aih.. saya pun tidak tahu.
Om Ebiet G Ade bilang, coba pinjam catatan langit atau tanyakan pada
rumput yang bergoyang. (dion db putra)