Di New York City, komisioner kesehatan Dr. Royal S. Copeland juga mulai meringankan pembatasan pada awal November, dengan bisnis memulai kembali jam operasional normalnya pada hari pemilu.
Terlepas dari risikonya, tampaknya ada sedikit diskusi publik tentang penundaan pemilu tahun itu.
Jason Marisam, profesor hukum di Hamline University, berpendapat mungkin ada wacana tentang penundaan pemilu jika Amerika Serikat tidak sedang berperang pada saat itu.
Dengan pasukan mereka yang bertempur di luar negeri, semangat kebanggaan warga Amerika semakin tinggi, dan pemungutan suara dipandang sebagai tindakan patriotisme yang diperlukan.
Menariknya, saat itu partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya hanya sekitar 40 persen.
Ini merupakan angka partisipasi terendah jika dibandingkan dengan pemilu paruh waktu 1914 yang 50 persen dan pemilu paruh waktu 1910 yang 52 persen.
Selain pandemi, beberapa faktor sampingan menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih.
Saat itu, sekitar 2 juta pria, yang mewakili persentase tinggi dari populasi pemilih AS, tengah bertempur dalam perang pada saat itu.
Namun, meskipun flu hanya menjelaskan sebagian dari rendahnya partisipasi, pandemi itu jelas berdampak.
“Jika hanya sebagian kecil dari alasan rendahnya jumlah pemilih adalah karena adanya flu, maka penyakit itu telah menghalangi ratusan orang untuk memilih,” tulis Marisam.
Pemilu paruh waktu di masa pandemi ini juga membuat Partai Republik yang saat itu oposisi dapat merebut kembali kemenangan.
Hal ini membuat Partai tersebut mengambil alih kendali penuh atas Kongres dari Demokrat.
Partai Republik memenangkan perolehan besar di Kongres AS, merebut 25 kursi yang sebelumnya dikuasai dan mengakhiri kontrol Demokrat.
Di Senat, Partai Republik memperoleh 5 kursi, mengambil kendali dengan mayoritas tipis.
Hal ini membuat Partai Republik memenangkan dominasi Kongres untuk pertama kalinya sejak 1908, menandai kekalahan besar bagi Woodrow Wilson dan agenda kebijakan luar negerinya.