“Itu artinya penerapan aplikasinya Tri Hita Karana didalam konsep manajemen spiritual yang saya lakukan disini,” ujarnya.
Juga Tri Karya Parisudha. Mardjana mengungkapkan, jika kita harus mulai positif baik dalam pikiran, ucapan, maupun perbuatan untuk menunjang perkembangan Toya Devasya.
Cikal bakal Toya Devasya sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1997 silam, dimana kala itu masih merupakan perusahaan keluarga bernama CV. Tirta Sanjiwani.
Gempuran krisis pada tahun 1998 membuat CV. Tirta Sanjiwani terjerat utang bank.
Namun tiga tahun kemudian, oleh Mardjana seluruh utang tersebut dilunasi dan nama CV.
Tirta Sanjiwani berubah menjadi PT. Nurani Ikrar Dharma Utama.
Kendati demikian, perjalanan Toya Devasya kala itu diakui tak mulus.
Sebab pihaknya kala itu masih menjabat sebagai Direktur Eksekutif Keuangan di PT Citra Marga Nusaphala Persada, hingga menjabat sebagai Direktur Utama PT Pos Indonesia.
“Setelah saya pensiun dari Pos Indonesia dan sempat menjabat sebagai dirut di property, barulah saya serius mengurus ini. Kira-kira 5,5 tahun lalu, dan perkembangannya cepat sekali,” ungkapnya.
Masa Kecil Mardjana
Pada kesempatan itu Bli Ojan juga sempat menyinggung ihwal masa kecil pria kelahiran 18 Maret 1951 itu.
Mardjana menganggap masa kecilnya merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.
Ia dilahirkan dari seorang ibu yang buta huruf, dan memiliki ayah seorang petani.
Dalam pendidikan ia juga harus menempuh jarak 7 kilometer dengan berjalan kaki dari Penelokan ke Kintamani.
Sarapan tak pernah ia rasakan, apa yang ia temukan dijalan misalnya jambu klutuk yang masih mentah ia makan.
Aktifitasnya sepulang sekolah diisi dengan mencari air ataupun mencari kayu bakar.
“Namun bagi saya itu suatu kebahagiaan. Mulai dari marjinal sampai mengalami suatu hal yang cukup tinggi. Seperti menjabat sebagai Dirut PT Pos Indonesia. Namun itu suatu perjalanan. Orang tua saya dulu mengatakan sekolah sampai BA (bachelor) saja,” ucapnya.
Mardjana mengaku sangat berhutang budi kepada orang tuanya.
Dimana saat menempuh pendidikan, ia kerap kali dititipkan pada teman dari orang tuanya.
Hal ini mengingat tidak ada keluarga yang tinggal di wilayah tempat ia sekolah.
Baik saat menempuh pendidikan di Bangli, maupun Singaraja.
“Namun herannya ketika sekolah teman-teman saya anak pejabat, ataupun anak orang kaya yang mendorong saya untuk terus sekolah, jangan sampai berhenti. Dan inilah yang membuat saya semangat,” ujarnya.
Lulus dari SMA, Mardjana kemudian merantau ke Jakarta.
Ia sejatinya memiliki cita-cita melanjutkan pendidikan ke ITB namun gagal.
Ia kemudian mendaftar ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang saat itu masih bernama Institut Ilmu Keuangan (IIK) dan ia diterima.
“Mungkin sudah suratan. Saat masa sekolah dulu saya sekolah bawa bekal dari tuan rumah. Kita punya sepasang sepatu berdua dengan teman. Jadi gantian, dia sekolah sore saya sekolah pagi. Baju juga begitu (gentian). Tapi kemudian dalam perjalanan saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Monash University, Melbourne, Australia,” ungkapnya.
Lanjut Mardjana, sebenarnya ia tidak bermaksud mencari gelar doctor melainkan hanya ingin tahu bahasa inggris.
Kata Mardjana, saat itu dirinya tengah bekerja di Departemen Keuangan, dan melihat teman-temannya bisa berkomunikasi dengan orang asing menggunakan bahasa inggris.
Berawal dari hal itu, Mardjana kemudian belajar hingga mengambil kursus bahasa inggris.
“Akhirnya saya melamar beasiswa, hingga bisa melanjutkan pendidikan di Monash dan meraih gelar doctor,” ucapnya.
Mardjana menambahkan kunci kesuksesan yang ia raih saat ini adalah kerja keras.
Dikatakan saat menempuh pendidikan, ia hanya focus untuk belajar.
Begitupun saat bersekolah di Jakarta, ia tak pernah lepas dari buku, bahkan sampai tidur di sekolah.
“Jadi kuncinya adalah kerja keras dan harus ada sesuatu yang harus kita capai,” tandasnya.(*)
Lihat Juga Videonya di Facebook Tribun Bali