Corona di Bali

Dengan QRIS, Kecak Uluwatu Siap Hadapi Era Baru Berbasis Digital

Penulis: AA Seri Kusniarti
Editor: Irma Budiarti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tarian Kecak di Uluwatu, Kuta Selatan, Badung, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, BADUNG – Dampak meluasnya pandemi Covid-19, juga dirasakan objek wisata kecak di Uluwatu.

Sepi pengunjung telah dirasakan sejak akhir Maret 2020, saat pandemi Covid-19 mulai masuk ke Pulau Dewata.

“Kami baru buka warung,” kata seorang pedagang bernama Nyoman Supadmi, Sabtu (23/8/2020), kepada Tribun Bali.

Senyumnya kembali semringah, mendengar keran pariwisata telah dibuka untuk lokal dan domestik market.

Sudah hampir 6 bulan ia tak berjualan.

Ia pun merasakan pengalaman baru, karena kini bisa menggunakan QRIS sebagai satu alat pembayaran baru.

“Saya sendiri masih belajar, tapi suami yang sudah paham QRIS ini,” katanya.

Ia berharap pariwisata kembali menggeliat seperti dahulu kala.

Hal senada diungkapkan Wayan Wijana, Manager Objek Wisata Kawasan Luar Pura Uluwatu.

“Kalau melihat akhir Maret sampai saat ini, penurunan kunjungan sangat signifikan, sampai 90 persen,” sebutnya.

Kemudian setelah buka 11 Juli 2020, tampaknya sudah ada pertumbuhan.

Walaupun belum signifikan, tetapi ada suatu tren akan naik.

“Makanya acara ini tujuannya mendongkrak itu, mempromosikan bahwa sudah, baik dari sisi area dan objek sudah siap, dengan tatanan protokol kesehatan yang baru. Klinik sudah siap, kemudian fasilitas pendukung juga. Termasuk sistem pembayaran telah digital menggunakan QRIS,” ujarnya.

Generator destinasi wisata di Uluwatu adalah kecak dengan daya tampung penonton sampai 1.200-an.

Namun karena aturan social distancing, ke depan daya tampung hanya 500 orang sekali pentas.

Dengan penerapan protokol kesehatan, ia berharap para wisatawan tidak takut datang ke Uluwatu.

Wijana menjelaskan, sebelum Covid-19 menyerang, kunjungan ke objek wisata Uluwatu per hari bisa 4.000-5.000 saat low season.

Kemudian naik menjadi 8.000 saat middle season, dan menjadi 12 ribu per orang ketika high season pertengahan tahun sekitar bulan Juli.

“Tamu kami didominasi 30 persen domestik dan 70 persen mancanegara,” sebutnya.

Walau menambahkan protokol kesehatan, seperti wastafel pencuci tangan, hand sanitizer, dan lain sebagainya, namun harga tiket tetap sama.

Untuk tiket masuk destinasi wisata dibanderol Rp 30 ribu bagi turis domestik, dan Rp 50 ribu bagi wisman.

Sementara tiket kecak Rp 150 ribu per orang, baik lokal maupun asing.

Khusus tari kecak, dibuka pukul 18.00 Wita sampai 19.00 Wita, berbarengan dengan sunset.

“Namun saat ramai peminat, kami bahkan bisa dua kali menari, pada pukul 19.00-20.00 Wita juga,” imbuhnya.

Mengenai mundurnya pembukaan keran bagi turis asing, ia tak sedih dan pesimistis.

“Saya pikir kalau dipatok menunggu wisman, tentu akan lebih mundur lagi. Yang penting wisdom sudah dibuka kerannya. Kita tidak menunggu saja, tetapi terus berupaya menjemput bola,” katanya.

Saat ini mulai ada pergerakan kunjungan, dari sebelumnya tidak ada menjadi 100-150 orang per hari.

Namun setelah September 2020 kecak dibuka, ia yakin akan kembali naik signifikan.

“Sebab banyak orang lokal juga suka kecak,” katanya.

Di sisi lain, dengan QRIS ia berharap 60 pedagang bisa kian mudah dalam bertransaksi.

Semua transaksi yang terjadi di objek wisata Uluwatu bisa kian transparan dan akuntabel.

 (*)

Berita Terkini