Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pura Campuhan Windhu Segara, di Pantai Padang Galak, Kesiman, Denpasar, kian digandrungi sebagai destinasi wisata spiritual atau religi bagi umat.
Bahkan tidak hanya umat Hindu di Bali, banyak pula umat dari berbagai daerah serta belahan nusantara hadir ke pura ini.
Termasuk turis mancanegara yang sekadar melukat, serta menikmati keindahan pura pinggir laut ini.
Tidak hanya bhatara-bhatari yang biasa dipuja di Bali, banyak pula bhatara-bhatari nusantara seperti Ratu Pantai Selatan.
Bahkan bhatara-bhatari dari Gunung Salak, arca Prabu Siliwangi, serta Dewi Gangga dari India. Jro Mangku Ketut Maliarsa, menjelaskan banyak yang datang melukat.
Baca juga: Pemkab Klungkung Raih Prestasi Perencanaan Pemda, 2021 Dana Insentif Melonjak Jadi Rp 60 Miliar
Baca juga: Venue Olahraga di Buleleng Mulai Dibuka untuk Tempat Latihan Atlet
Baca juga: Dorong Gairah UMKM di Tengah Pandemi, Dinas Koperasi Gelar Pelatihan Barista, Tata Rias dan Bakery
Membersihkan diri lahir-batin, ada pula yang metamba (berobat), meminta anak, kesembuhan, dan lain sebagainya.
“Tentunya semua memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, melalui manifestasi beliau di pura ini,” jelasnya kepada Tribun Bali, Kamis (12/11/2020).
Jro mangku menjelaskan, jika ingin melukat tentunya membawa banten pejati, canang, dan berpakaian adat Bali.
“Minimal membawa canang juga tidak masalah, tetapi biasanya memang pejati dua besek,” sebutnya.
Begitu memasuki areal pura, ada catus pata dengan patung Dewa Brahma berkepala 4.
Baca juga: Gojek Capai Transaksi Rp 170 Triliun di Tahun 2020, Memasuki Usia ke-10 di Tengah Pandemi
Baca juga: Peringati Hari Kesehatan Nasional, Kelurahan Tonja Bagikan 500 Masker, Dinkes Denpasar Sasar 5 Pasar
Baca juga: Pengurus IMMAPA Bali 2020-2022 Dilantik, Bertekad Ciptakan Mahasiswa Unggul untuk Bangun Tanah Papua
Kepalanya ini menghadap barat, timur, utara, dan selatan.
“Di sana menghaturkan canang asebit sari memohon dan meminta izin bahwa akan melukat,” sebutnya. Lanjut pemangku asli Bon Dalem ini, catus pata (perempatan) adalah tempat energi untuk mencapai keselamatan.
Kemudian berjalan ke timur, pamedek kembali menghaturkan canang di pelinggih Hyang Baruna atau penguasa lautan.
Tujuannya, memberitahu kepada bhatara bahwa akan melukat.
Setelah itu, baru kemudian pejati pertama dibawa ke linggih Ida Bhatara Wisnu atau Dewa Wisnu, karena di sana ada penglukatan dasa mala.
Baca juga: Tingkat Hunian Pasien Covid-19 di RSUP Sanglah Mulai Terkendali, Rata-rata 40 Persen
Baca juga: Cerita Perempuan Pegawai SPBU di Benoa, Detik-detik Pria Todongkan Pistol, Hingga Lari Kocar Kacir
Baca juga: Pakar Epidemiologi Unair Sebut Kedisiplinan 3M Jadi Keharusan untuk Putus Penyebaran Covid-19
“Selain membawa pejati, pamedek juga membawa klungah nyuh gading. Satu klungah untuk satu orang. Sementara pejati bisa dipakai bersama-sama, tapi klungkah khusus per orang,” jelasnya.
Setelah dilukat dengan mantra lengkap oleh Ida Rsi Istri, baru pemangku ngelukat dengan klungah nyuh gading ini.
Kemudian pamedek diajak ke campuhan di bawah, yakni pertemuan air sungai dan laut untuk melukat selanjutnya.
“Di sanalah (campuhan), dibersihkan semua dari atas di bawah. Terkadang memang ombaknya besar, tapi kadang juga ombaknya bersahabat,” sebutnya.
Setelah itu baru naik, dan turun ke beji ke bawah.
Kembali lagi, di beji ini menghaturkan canang karena ada pelinggih Siwa Budha, pelinggih Dewi Ku Am Im serta Ida Rambut Sedana.
“Pemangku akan mengawal jalannya prosesi. Lalu melukat di panca tirta dan sapta sindu,” sebutnya.
Sapta sindu ini, jelas dia, diyakini merupakan air dari sungai gangga, saraswati, dan beberapa sungai suci lainnya ada di sana.
Setelah dari sana, pamedek berganti pakaian memakai baju dan kamen yang baru kemudian duduk di penataran.
Di penataran ini, kembali dikawal oleh pemangku prosesinya.
“Nah pejati kedua dihaturkan di penataran,” sebutnya.
Setelah selesai pengayaban, pamedek dipersilahkan sembahyang. Lalu nunas tirta dan bija.
Prosesi selanjutnya, ke gedong ibu dan sembahyang di sana.
“Kalau orang Jawa dia akan menyembah Ratu Pantai Selatan, sementara kalau umat Bali akan menyembah Ratu Ayu Manik Segara,” jelas Jro mangku.
Simbol ibu ini, dipercaya memberi ketenangan dan keselamatan serta rezeki baik materi maupun anak.
Setelah itu, sembahyang ke gedong Prabu Siliwangi. Serta memohon kepada bhatara-bhatari yang berada di parhyangan Jagatkartta Gunung Salak.
Kemudian ke sebelah barat ada pelinggih Siwa.
Dalam artian, sebagai Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Jika tidak bisa mengucapkan mantra, bisa dengan sesontengan bahasa kita sehari-hari yang penting tulus ikhlas,” katanya.
Atau dengan menyebutkan, Om Namah Siwa Ya Om sebanyak 3,7,9,11, dan 13 kali.
“Setelah selesai di sana, berlanjut ke depan di pelinggih tiga naga, yakni Ananta Boga sebagai perwujudan Bhatara Brahma, Naga Basuki sebagai perwujudan Ida Bhatara Wisnu, dan Naga Taksaka dari perwujudan Sang Hyang Iswara.
“Ini sesuai dengan cerita Ida Bhatara Siwa yang melihat mercapada, atau dunia dengan kehidupan kacau balau. Kemudian diutuslah Tri Murti ke dunia. Dewa Brahma sebagai pencipta, kemudian pemelihara adalah Dewa Wisnu, dan pelebur segala sesuatu di dunia adalah Dewa Iswara,” jelasnya.
Dari ketiga naga tersebut, akan mengalir air suci dan bisa diminum langsung oleh pamedek sebanyak 3 kali.
Prosesi selanjutnya, menghadap mahaguru dan diberikan tilaka atau basma.
Tilaka ini, terbuat dari tanah liat pegunungan yang sudah dipasupati. Gunanya untuk dilentikkan diantara alias, sebagai tanda bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa sudah berada di dalam alam pikiran pamedek.
“Setelah itu selesai lah proses panglukatan,” imbuhnya. (*)