Menurut Sandiaga, berkantor di Bali sangat diperlukan karena berkaitan dengan prinsipnya yang percaya jika melihat, mendengar, dan merasakan langsung.
“Ini kita sedang coba finalkan agar perhatian ini, seeing is believing. Kalau cuma ngomong-ngomong dari Jakarta, enggak ada di Bali, pasti enggak akan punya kredibilitas,” jelasnya.
Sandiaga melanjutkan, berkantor di Bali juga dapat membuka ruang diskusi antara dirinya dengan pelaku usaha atau pemerhati sosial seperti Niluh Putu Ary Pertami Djelantik yang akrab disapa Mbok Niluh.
“Saya sangat menikmati kalau kita langsung mendengar tanpa ada laporan dari staf Kemenparekraf yang ‘asal bapak senang’,” ujarnya.
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Targetkan Kunjungan Wisatawan Mancanegara hingga 7 Juta pada 2021, Bisakah?
Kendati demikian, keputusan berkantor di Bali tidak akan diambil secara sepihak.
Sandiaga berharap pihaknya mendapat masukan dari para pemangku kepentingan terkait soal gagasan tersebut.
Dalam diskusi virtual yang dihadiri Sandiaga, turut juga hadir Gubernur Bali I Wayan Koster dan Kepala Pusat Pengkajian Ekowisata Universitas Warmadewa Prof. Dr. Aron Meko Mbete.
Ada juga Mbok Niluh, Ketua Vox Point Indonesia Yohanes Handoko Budhisedjati, dan Ketua DPD Vox Point Indonesia Yoseph Gede Sutmasa.
Saat ini, pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir setahun di Indonesia. Hal tersebut memberi dampak langsung terhadap sektor pariwisata Nusantara, khususnya di Bali.
Sebanyak lebih dari 80 persen masyarakat di sana yang menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut berduka.
Sebab, mereka kehilangan pendapatan akibat ditutupnya akses hingga langkanya wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata. (*)