Komang Indra Wirawan, Dekan FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia
TRIBUN-BALI.COM - Kita sangat prihatin mendengar kabar duka seorang penari rangda meninggal saat masolah.
Saya berharap kejadian serupa tidak menimpa penari rangda lainnya.
Ini harus di-review kembali apa yang menjadi dasar penyebabnya.
Ibaratnya, seseorang yang naik mobil harus memiliki legalitas yang baik dan benar. Tidak abal-abal.
Kemudian harus diingat bisa kalawan patut, artinya bisa dan mengikuti aturan yang ada.
Sehingga seseorang yang menari rangda, sepatutnya mawinten, malukat, dan membersihkan diri.
Mengingat tarian rangda adalah tarian sakral, dan otomatis banyak hal yang harus diikuti oleh seorang penari.
Dinyatakan sakral karena adanya upakara atau bebantenan sebelum tarian rangda dan barong dilakukan.
Walaupun tarian rangda dilakukan tidak di pura, semisal di sanggar dan acara ulang tahun yang berisi Calonarang dan sebagainya, jika sudah ada banten yang dihaturkan maka sakralisasi pasti terjadi.
• Keris Tembus Jantung, Penari Rangda Berusia 16 Tahun Tewas Saat Acara Napak Pertiwi di Denpasar
• Hasil Pemeriksaan Luar Jenazah Pemuda Tewas Tertusuk Keris di Denpasar, Ditemukan Luka di Dada Kiri
Karena sakralisasi itulah, perlu adanya sebuah pengkajian dari kejadian tersebut.
Jangan sampai ada keteledoran yang berdampak kurang baik hingga menyebabkan malapetaka.
Penari rangda identik dengan ngunying atau ngurek, yakni menancapkan keris tajam ke dadanya.
Jika sampai kerauhan, kadang penari tidak sadar apa yang ia lakukan.
Kendati tarian rangda juga sebuah pertunjukan seni Bali, namun karena sifatnya yang sakral maka ada unsur sekala-niskala mengiringinya. Baik itu emosi si penari sendiri, bhuta kala, dan unsur lain di dalamnya.
Maka di sinilah kita (penari) harus mawas diri, dan melindungi diri dengan baik serta nunas ica kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jangan sampai teledor.
Selain faktor niskala, faktor sekala yakni keamanan diri juga harus sangat diperhatikan. Caranya adalah dengan melengkapi diri dengan pakaian yang tepat dan benar.
Apalagi kalau tipikal tarian matebekan, harus menyiapkan segala sarana yang diperlukan dan memadai.
Beda dengan rangda yang hanya demontrasi biasa saja.
Adanya ritual ngunying atau ngurek, dalam tarian rangda adalah identik dengan bhuta kala, dan Dewi Durga.
Matebekan itu filosofinya adalah nyomiang bhuta kala.
Sebab ada beberapa cara untuk membuat bhuta kala tentram dan damai, sehingga tidak ngrebeda di dunia.
Somia itu bisa dengan air, api, dan keris ketika ngunying.
Fungsinya untuk pangruwatan atau panyudamala. Membersihkan bhuana alit (diri manusia) dan bhuana agung (alam semesta).
Sehingga tajamnya keris, adalah menajamkan pikiran pada diri manusia agar terpusat dan terkendali dari Sad Ripu menjadi Sad Guna.
• Tertusuk Keris, Sang Penari Rangda Berusia 16 Tahun Tewas di Denpasar Bali
Kemudian membuat alam semesta menjadi damai dan tentram.
Istilah rangda dalam keyakinan masyarakat Bali adalah merujuk kepada Dewi Durga saktinya Dewa Siwa.
Tarian rangda biasanya dibawakan dengan barong, kedua ini sebagai simbol rwa bineda. Dualitas yang berbeda namun satu-kesatuan, sebagai simbol ibu dan bapak, siang dan malam, serta dharma melawan adharma.
Banten itu kemudian simbol penegas, bahwa apapun kegiatan di dalam tarian itu bersifat sakral. Tentunya sesuatu yang sakral dilakukan di tempat dan ruang yang benar.
Apalagi rangda identik dengan kesaktian yaitu Dewi Durga itu sendiri dan identik pangiwa (ilmu kiri).
Intinya penari rangda ataupun penari tarian sakral lainnya, tetap membekali diri dengan baik dan instrospeksi diri serta down to earth.
Tidak ada yang hebat dan mahakuasa selain Tuhan Yang Maha Esa. (*)