TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Publik di Bali dihebohkan dengan kasus pencabulan yang diduga dilakukan oleh seorang oknum sulinggih, I Wayan M (38).
Oknum sulinggih tersebut telah menyandang ststus tersangka atas kasus dugaan pencabulan terhadap seorang perempuan bersuami.
Informasi yang dihimpun Tribun Bali, saat ini Kepolisian Daerah Bali masih memenuhi berkas perkara penyidikan P.19 terhadap I Wayan M.
"Masih sidik pemenuhan P19," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali, Kombes Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, S.H saat dikonfirmasi Tribun Bali, Rabu 17 Februari 2021.
Setelah berkas perkara itu lengkap, selanjutnya masuk ke tahap persidangan jika sudah dinyatakan memenuhi seluruh syarat formil dan materiil oleh Kejaksaan Tinggi Bali lengkap atau P21.
Meski berstatus tersangka, saat ini Polda Bali tidak melakukan penahanan terhadap I Wayan M.
"Yang bersangkutan tidak kami lakukan penahanan," ujarnya.
Baca juga: Sulinggih di Gianyar Jadi Tersangka Kasus Dugaan Pencabulan, Begini Reaksi PHDI Bali
Kuasa hukum korban YD (33), Ni Luh Nengah Budawati, SH, MH mengatakan oknum sulinggih I Wayan M itu dilaporkan ke Polda Bali pada 9 Juli 2020 atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap kliennya saat melukat atau melakukan upacara spiritual pembersihan diri di Pura Campuhan Pakerisan, Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada 4 Juli 2020.
Padahal tujuan pasangan suami istri itu hanya untuk tangkil atau persembahyangan ke Pura.
Hingga kini penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Gianyar, Bali ini masih berproses di Polda Bali.
Budawati yang juga aktif di Woman Crisis Centre (WCC) juga berupaya memulihkan trauma akibat pengalaman buruk yang dialami korban yang sudah hampir setahun berjalan itu.
"Kami curiga korban mengalami trauma, depresi, apalagi menjelang masa persidangan, berkas sudah akan lengkap kan tinggal menunggu jadwal sidang kalau lancar, korban kondisinya menjadi sulit konsentrasi, saya sarankan konsultasi ke psikolog agar lebih tenang," ujar Budawati.
Dulunya Seorang Balian
Berdasarkan penelusuran, oknum sulinggih yang diduga melakukan pencabulan tersebut diketahui bergelar Ida Bhagawan. Adapun nama sebelum di-dwi jati ialah I Wayan M.
Diketahui kediaman sulinggih tersebut berada di Desa Tegalalang, Kecamatan Tegalalang, Gianyar, Bali.
Tribun Bali mencoba mencari penjelasan terkait tudingan pencabulan tersebut.
Namun saat disambangi ke kediamannya, yang bersangkutan tidak ada.
Orang di dalam kediamannya mengatakan, yang bersangkutan sedang di luar.
"Ten wenten, Ida lunga (tidak ada, beliau sedang keluar)," ujarnya.
Informasi yang dihimpun di lapangan, sebelum bergelar sulinggih, yang bersangkutan menjalankan profesi sebagau balian atau dukun.
Dalam dunia perdukunan, Ida Bagawan disebutkan relatif sukses. Sebab banyak yang berhasil disembuhkan.
Lantas, bagaimana menurut tokoh desa setempat?
Baca juga: Polda Bali Penuhi Berkas Perkara Dugaan Oknum Sulinggih Cabul, Korban Alami Depresi
Bendesa Adat Tegallalang I Made Kumara Jaya saat ditanya apakah yang bersangkutan menyandang gelar dwijati dengan mekanisme yang berlaku, ia mengaku tidak mengetahui.
Dia beralasan baru menjabat sebagai bendesa sekitar sepekan lalu.
"Saya baru ngayah sebagai Bendesa seminggu lalu. Jadi terkait kapan terjadi pediksan, tyang tidak tahu menahu. Juga bukan kewenangan saya," ujarnya.
Menurut Kumara, proses dwijati semestinya melibatkan tri upasaksi. Di antaranya prajuru, guru nabe, dan memenuhi syarat yang ditentukan.
"Setahun kami, memang harus ada tri upasaksi. Itu yang tyang tidak tahu juga. Karena saat itu tyang tidak ada kewenangan menanyakan," jelasnya.
Sementara itu, I Made Kumara Jaya, mantan Bendesa Tegalalang saat ditanyai proses dwijati oknum sulinggih ini, ia pun berusaha mengingat-ingat.
Dalam beberapa menit, iapun akhirnya mengingat bahwa pernah diundang oleh yang bersangkutan ketika akan melakukan dwijati.
Namun dikarenakan undangan tersebut hanya bersifat lisan, karena itu ia selaku prajuru tidak hadir.
Terlebih lagi, prosesi dwijati tidak dilakukan di kediaman yang bersangkutan melainkan di luar Kabupaten Gianyar.
"Kami sewaktu menjabat memang pernah diundang secara lisan. Tapi kami selaku prajuru tidak hadir. Sebab surat undangannya gak ada. Jadi kami tidak berani hadir. Kami memang tidak hadir dan tidak tahu. Yang jelas, prosesi medwijati itu dilakukan di Karangasem, tepatnya saya ndak tahu karena ndak hadir," ungkapnya.
Tanggapan PHDI Bali
Ketua PHDI Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat dengan PHDI se-Bali untuk membahas kasus ini, Selasa 16 Februari 2021.
Dalam rapat tersebut pihaknya menerima laporan dari PHDI Gianyar karena mewilayahi kejadian tersebut.
"Laporan PHDI Gianyar bahwa oknum dimaksud tidak terdaftar di PHDI Gianyar sehingga PHDI Gianyar akan melakukan pengecekan langsung apakah punya nabe (guru spiritual) apa tidak," terang Sudiana saat dihubungi Tribun Bali dari Denpasar, Rabu 17 Februari 2021.
Menurut Sudiana, biasanya setiap calon sulinggih itu mengajukan surat diksa pariksa ke PHDI.
Setelah ada surat itu maka PHDI melaksanakan ritual diksa pariksa kepada calon sulinggih tersebut.
Setelah melalui proses upacara mati raga, PHDI memberikan surat keputusan (SK) sulinggih terhadap pemohon.
Di SK itu salah satunya berisi hak dan kewajiban, tanggungjawab serta nama walaka yang berubah menjadi nama sulinggih.
"Kalau calon bersangkutan tidak mengajukan surat diksa pariksa ke parisada, parisada tidak tahu. Parisada tidak melaksanakan diksa pariksa, otomatis sulinggih nika tidak tercatat di Parisada," kata Sudiana.
Dikarenakan tidak tercatat di PHDI, hingga saat ini pihaknya masih melakukan pengecekan apakah yang bersangkutan termasuk sulinggih atau tidak.
Jika ia tak mempunyai nabe itu berarti bukan sulinggih. Sementara jika mempunyai nabe, PHDI akan menyampaikan hal ini kepada nabenya.
Meski tak terdaftar di PHDI, Sudiana menegaskan bahwa pihaknya tak berani gegabah mengambil kesimpulan apakah dia termasuk sulinggih atau bukan.
Hal itu dilakukan agar PHDI nantinya tidak salah dalam bertindak.
"Kita tidak boleh gegabah mengambil kesimpulan sebelum ada pengecekan langsung. Tidak boleh (gegabah), karena itu menyangkut nama orang, kan kredibilitas orang kan kita harus lihat dumun yang sebenar-benarnya sampai ada bukti, lalu kita mengambil kesimpulan. Parisada tidak berani gegabah mengambil kesimbulan sehingga Parisada tidak salah langkah," terangnya.
Sudiana menuturkan, jika hasil pengecekan di lapangan nantinya membuktikan bahwa yang bersangkutan bukan sulinggih, maka PHDI akan menyatakan hal tersebut.
Nantinya setelah penyelidikan selesai, PHDI Gianyar bakal memberikan klarifikasi apakah yang bersangkutan masuk dalam sulinggih atau tidak.
"Sementara masalah sanksinya, jika ada pelanggaran pidana, maka dipertanggungjawabkan kepada aparat negara," terang Sudiana yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar itu. (ian/weg/sui)