Dengan jumlah produksi 28.655 ton per tahun, Sarma mengatakan jumlah tersebut hanya mampu memenuhi 1,13 persen memenuhi kebutuhan cabai di Bali.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan produksi cabai besar merah asal Bangli sebesar 10.188 ton per tahun, yang mampu memenuhi 73,76 persen kebutuhan di Bali.
“Walau demikian cabai besar juga mengalami penurunan produksi, sekitar 18 sampai 20 persen. Namun demikian hal ini tidak terlalu terdampak karena konsumsi cabai besar lebih ke konsumsi industry makanan, bukan konsumsi rumah tangga,” katanya.
Kendati terdampak cuaca, Sarma mengatakan masih ada petani yang tetap menanam cabai.
Sebab menurutnya, walaupun produksi yang dihasilkan rendah modal yang dikeluarkan masih tetap kembali lantaran harga jualnya yang tinggi.
“Kalau sampai gagal panen 100 persen tidak. Namun kalau penurunan produksi memang ada,” imbuhnya.
Sarma juga mengatakan tingginya harga cabai masih berpotensi meningkat, mengingat jelang hari raya Nyepi dan Galungan.
Begitupun dengan komoditas lainnya, seperti bawang merah, telur ayam, daging ayam.
“Kalau daging babi memang kami perkirakan sampai galungan masih mahal. Mungkin setelah Galungan baru turun. Seiring dengan pertambahan populasi, serta kebutuhan masyarakat untuk upacara agama. Untuk harga cabai, diasumsikan mulai turun sekitar bulan Mei, karena curah hujan sudah menurun dan para petani sudah mulai kembali menanam,” ucapnya. (*)