Serba Serbi

Sulinggih Muda, Berapa Sebenarnya Usia Ideal Menjadi Sulinggih?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Sulinggih Muda, Berapa Sebenarnya Usia Ideal Menjadi Sulinggih?

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menjadi seorang sulinggih atau pendeta di Bali, tidaklah mudah.

Sebab ada banyak aturan dan syarat yang harus dipenuhi seseorang, untuk bisa duduk dan menjadi seorang sulinggih.

Dari sekian list syarat, satu diantaranya adalah syarat minimal usia.

Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, minimal usia yang ditetapkan matang menjadi sulinggih atau pendeta adalah 40 tahun ke atas.

Baca juga: Tak Mudah Menjadi Sulinggih, Begini Pandangan Ida Rsi yang Juga Pensiunan Dosen UNHI

Baca juga: Karmaphala Dalam Hindu Bali, Ini Penjelasan Sulinggih

Baca juga: Bendesa Tegalalang Tak Tahu Kapan Oknum Sulinggih Cabul Didwijati

Sebab usia tersebut, dianggap matang dan layak menjadi sulinggih yang mampu melepas keduniawian.

Apalagi tugas seorang sulinggih berkaitan dengan agama, mengayomi masyarakat, muput upacara, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan.

Tentunya hal tersebut akan menjadi contoh umat, sehingga usia matang yang dianggap pantas untuk madiksa sebagai sulinggih.

“Dahulu sekitar tahun 2000an ke bawah, dari PHDI Bali aturannya ketat bagi yang akan mediksa,” jelas beliau kepada Tribun Bali, Senin 8 Maret 2021.

Satu diantara aturan ketat inilah berkaitan dengan usia.

Sisanya masih banyak lagi, semisal tidak boleh mengendarai kendaraan sendiri.

Lanjut pensiunan dosen UNHI ini, lampiran rencana madiksa ke PHDI pun cukup banyak.

Seperti persetujuan keluarga, khususnya keluarga besar tentang hal itu.

Surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian, surat keterangan dokter.

Nama nabe, nabe napak, nabe waktra, serta nabe saksi.

Kemudian adanya surat persetujuan dari nabe.

“Aturan ini sangat penting, demi amannya seseorang dinobatkan menjadi sulinggih. Serta adanya perlindungan hukum bagi masyarakat,” tegas ida.

Termasuk perlindungan bagi calon sulinggih itu sendiri.

Sebab, kata beliau, sulinggih sebenarnya pantang berhadapan dengan tuntutan hukum.

Sesuai sesananing seorang sulinggih (pendeta) atau wiku.

Sebab sulinggih harus benar-benar melepas keduniawian, tidak terikat dengan hal duniawi dan memfokuskan diri kepada dharma dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Sebab sulinggih adalah orang suci yang telah melalui proses madiksa.

Berasal dari dua kata, ‘Su’ berarti utama atau mulia.

Sedangkan ‘Linggih’ berarti kedudukan.

Sehingga sulinggih, dapat diartikan adalah seseorang suci yang mendapat kedudukan yang utama atau mulia di masyarakat.

Seorang sulinggih yang telah mendapatkan kesucian lahir batin ini, dalam tingkatan dwijati (lahir kembali dua kali).

Maksudnya, lahir pertama dari rahim seorang ibu, sedangkan lahir kedua dari Weda.

Lahir sebagai manusia suci tanpa cacat dan cela.

Hal ini dibenarkan Ida Pedanda Gde Keniten, dari Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan.

Beliau menjelaskan, bahwa menjadi sulinggih adalah bagian dari bhiksuka dalam Catur Asrama di ajaran agama Hindu.

Sesuai arahan Catur Asrama, kewajiban umat Hindu membersihkan diri secara sekala, tetapi dengan aturan ritual dalam bentuk niskala.

“Jadi manusia suci itu berbentuk Siwa dalam wujud nyata. Nah itu namanya madwijati, atau hidup untuk kedua kalinya,” sebut Ida Pedanda.

Madwijati adalah hak semua umat dan golongan tanpa terkecuali.

Sepanjang madwijati itu melalui proses yang baik dan benar, sesuai dengan ajaran agama Hindu dan kitab suci Weda.

“Hanya saja, setelah madwijati di Bali memang beda-beda sebutannya. Ada yang disebut Ida Pedanda, Ida Sri Empu, Ida Bhagawan, Rsi Agung, dan lain sebagainya,” sebut beliau.

Selama proses ditempuh, sesuai awig-awig maka seseorang yang telah madwijati bisa disebut sulinggih.

Lanjut beliau, seorang calon bhiksuka atau calon sulinggih diharuskan mencari calon guru nabe.

Sementara seorang calon guru nabe, tidak akan mudah menerima seorang calon sulinggih.

Guru nabe akan melihat bibit, bebet, bobot, dari calon sulinggih ini.

Apakah layak menjadi sulinggih atau tidak.

Namun jika dirasa berhak dan layak, serta memiliki potensi menjadi calon sulinggih maka akan dicarikan hari baik (duasa) secara niskala di pamerajan nabe.

Prosesnya pun masih panjang, karena menjadi sulinggih tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Setelah adanya kesepakatan, calon sulinggih tangkil ke calon nabe untuk menentukan hari baik kapan akan madiksa.

Sebelum madiksa, akan dilakukan pemeriksaan keabsahan surat dari calon sulinggih tersebut.

Diantaranya, surat kelakukan baik, surat keterangan sehat lahir batin, surat kesiapan dari tiga guru yakni guru nabe, guru watra, dan guru saksi.

Semua guru ini harus tandatangan surat kesiapan tersebut.

“Itu namanya diksa pariksa, dan setelah proses itu selesai ada istilah mejaruman. Sebelum itu ada pegat sembah. Selesai pegat sembah, pada hari itu juga malam harinya ada prosesi amati raga,”jelas beliau.

Upacara amati raga ini, seolah-olah seorang calon sulinggih telah pralina (meninggal dunia) dan itu dilakukan oleh calon nabe.

Setelah meninggal di alam nyata, besok paginya diurip (diberi kehidupan) kembali oleh nabe.

“Nah pagi itu setelah amati raga, calon sulinggih kesiram oleh sulinggih yang senior,” kata Ida Pedanda.

Setelah masiram (mandi), lalu berhias layaknya seorang sulinggih baik lanang dan istri.

Selesai itu, calon nabe mapuja di merajan calon sulinggih.

Puput (selesai) itu, sulinggih yang baru menghadap ke merajan dan sembahyang.

Dilanjutkan dengan metapak ibu jari kiri, lalu dilanjutkan mejaya-jaya.

“Jadi pada saat pebaktian ini ada namanya amari aran, berubah dari nama welaka menjadi nama sulinggih. Semuanya berubah, pakaian berubah, nama diubah, dan banyak pantangan lainnya. Termasuk pantangan tidak keluar dan makan sembarangan. Setelah itu ada ngalinggihang tiga puja,” imbuh beliau.

Dengan berbagai rentetan prosesi di dalamnya.

Mengenai batasan umur yang pantas dan layak, menjadi seorang sulinggih adalah antara 40-60 tahun.

Ida Pedanda mengatakan, idealnya adalah 50 tahun seperti di Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan yang tidak pernah putus dan selalu ada sulinggih di sana.

“Intinya asal mumpuni, dan mampu melepas duniawi, serta memenuhi syarat tentu bisa madwijati,” tegas beliau.

Sebab seorang sulinggih akan menjadi penuntun umat, sehingga harus memberikan contoh yang baik dan benar.

Tidak lagi terikat oleh nafsu duniawi.

Untuk itu usia 50 tahun ke atas, dirasa paling cocok dan pantas menjadi seorang sulinggih.

“Namun jika di suatu tempat, ada banyak umat (masyarakat) dan untuk mendatangkan sulinggih jaraknya cukup jauh. Maka dibenarkan seseorang yang pantas dan berusia 40 tahun bisa diangkat menjadi sulinggih,” sebut beliau.

Hal ini pun harus disetujui parisadha setempat dan calon sulinggih itu dapat dipertanggungjawabkan ke depannya.

“Semua lapisan masyarakat bisa menjadi sulinggih, selama proses yang ditempuh baik dan benar, maka seseorang bisa madwijati,” tegas beliau kembali.

Ketua PHDI Bali, Gusti Ngurah Sudiana, membenarkan bahwa dari PHDI pusat memberikan syarat keputusan usia minimal 40 tahun ke atas untuk menjadi seorang sulinggih.

Ia juga membenarkan bahwa menjadi seorang sulinggih harus melewati banyak tahapan.

Terkait dengan kasus yang kini menimpa sulinggih muda yang viral saat ini.

Sudiana masih akan membahasnya dalam rapat.

PHDI Bali telah mengirimkan utusan ke gria sulinggih tersebut, guna mencari tahu duduk permasalahannya.

Sehingga langkah yang diambil setelahnya tepat sasaran.(*).

Berita Terkini