Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Karmaphala adalah satu bagian penting dalam ajaran agama Hindu khususnya di Bali.
Konsep karmaphala sebenarnya terkait dengan penerapan Tri Kaya Parisudha, yakni berpikir yang baik, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik.
Konsep karmaphala juga terbersit dalam epos Mahabharata yang mashyur di dunia, terutama pada bagian Swargarohana Parwa atau parwa yang terakhir dalam epos karya Bhagawan Wiyasa (Byasa) itu.
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti menceritakan penggalan kisah besar tersebut.
Diceritakan Ida Rsi, setelah perang saudara antara Pandawa dengan Korawa berakhir, kematian pun telah menunggu semuanya.
Singkat cerita, Yudhistira atau Sang Prabu Dharmawangsa, kakak tertua para Pandawa itu, menuju sorga.
Namun ia tak melihat satupun saudara atau istrinya di sana. Justru ia melihat para Korawa.
Ternyata para saudara dan istri dari Pandawa berada di neraka.
"Yudhistira diantar oleh seekor anjing, atau dalam bahasa Bali disebut asu. Filosofi asu ini adalah asubhakarma," kisah ida kepada Tribun Bali, Kamis 13 Mei 2021 di Sesetan Denpasar.
Baca juga: Mengenal Perkawinan Menurut Hindu Bali, Minimal Harus Mabyakala: Mapadik, Ngerorod, hingga Nyentana
Jika subhakarma adalah perbuatan baik, maka asubhakarma adalah perbuatan tidak terpuji.
"Inilah bukti, karma sekecil apapun akan tetap ditebus baik buruknya," tegas ida.
Ketika Yudhistira sampai di sorga dan tidak melihat saudara-saudaranya, ia pun bertanya kepada para dewa mengapa adik-adiknya tidak ada di surga?
Ternyata adik-adiknya berada di neraka untuk menerima dan membayar karma mereka.
Sementara para Korawa, sedang menerima hasil perbuatannya di sorga.