Isinya meliputi plawa atau daun kayu sebagai lambang ibu pertiwi atau nada dengan makna ketenangan pikiran dan hati.
"Porosan silih asih yang dibuat dari 2 daun sirih tertelungkup dan tengadah serta digulung, sebagai makna kasih sayang kita sebagai manusia dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa," sebutnya.
Kembang payas berbetuk cili berupa janur yang dituwes dengan reringgitan sebagai lambang keikhlasan atau ketulusan hati. Uang kepeng (pis bolong) simbol windhu dan juga bermakna sebagai 'tatebus' untuk melengkapi kekurangan.
Baca juga: Bhuta Cuil, Begini Penjelasannya Dalam Hindu di Bali
Cara penggunaannya jika dalam kramaning sembah, adalah untuk memuja Ida Bhatara Samodaya. Yang berarti setelah urutan upasaksi Bhatara Surya, dan juga pada saat mohon anugerah.
"Kuwangen dijepit di kedua belah tangan, dan menghadap pada orang yang memuja sebagai simbol memohon keindahan dan kesucian pikiran untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan prebhawa-Nya," sebutnya.
Penggunaan bunga oleh para umat Hindu juga tidak dapat dipisahkan dalam persembahyangan.
Oleh karena bunga juga sebagai prenawa atau simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa,Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya.
Di samping itu, bunga juga sebagai sarana upacara dan upakara (bebantenan/ sesajen) dan sarana persembahyangan yang dilandasi dengan hati dan pikiran yang bersih,suci dan tulus ikhlas.
Sedangkan kata sembahyang dari etimologinya terdiri dari dua kata yaitu sembah dan Hyang. Sembah artinya memuja atau menghormati, dan Hyang artinya Ida Sang Hyang Widhi Wasa,Tuhan Yang Maha Esa dan manifestasi-Nya.
"Sehubungan dengan itu, makanya dalam sembahyang kurang lengkap rasanya kalau tidak memakai sarana bunga sebagai simbol prenawa Beliau," katanya.
Menurut Agastya Parwa, bahwa ada beberapa bunga yang tidak boleh dipakai dalam persembahyangan yaitu bunga yang layu, bunga yang gugur tanpa dipetik, bunga yang belum mekar, bunga yang berulat, dan bunga yang tumbuh di kuburan.
"Di samping itu, ada juga bunga yang lain tidak boleh dipakai yaitu bunga tulud nyuh (jempiring kecil), kalantaka karena bunga ini tidak mendapat pangelukatan dari Bhatara Siwa, dan ada juga bunga gumitir menurut Lontar Kunti Yadnya karena ternoda oleh darahnya Dewi Durga waktu melahirkan dua anak yaitu berupa raksasa dan satunya lagi Hyang Kumara," sebut mantan kepala sekolah ini.
Tetapi menurut lontar Aji Yanantaka, akhirnya bunga gumitir bisa dipakai sarana persembahyangan dan upakara setelah dilakukan pangelukatan atau pembersihan oleh Bhatara Siwa.
Hanya bunga gumitir berwarna kuning terang yang boleh digunakan, sedangkan gumitir berwarna merah tidak boleh digunakan sebagai sarana sembahyang.
Bunga lainnya yang digunakan untuk sembahyang adalah bunga jepun, bunga pacah, bunga cempaka, bunga sandat, dan kembang rampe. Sebelum digunakan sembahyang ada baiknya bunga dicuci dengan air bersih. (*)
Berita lainnya di Serba serbi