Tetapi ketika sebuah barong atau rangda hanya diprayascita, dan digunakan untuk hal yang bersifat profan atau hiburan semata.
Hanya untuk balih-balihan, maka rangda atau barong tersebut bisa ditarikan oleh siapa saja yang bisa menarikannya.
“Minimal bisa masolah atau menari lah,” katanya.
Jadi ke depan, ia sangat konsen untuk mengimbau masyarakat Bali agar memahami hal ini dengan sangat baik. Sehingga tidak terjadi kecelakaan lagi saat menari tarian rangda atau barong.
Secara spesifik, Komang Gases menjelaskan bahwa rangda dan barong adalah simbol rwa binedha atau dualitas di dunia ini.
Namun jangan dilihat secara sederhana, hanya pada baik dan buruk saja.
Sebab kedua hal tersebut saling melengkapi dan menyeimbangkan alam semesta.
Dalam pementasan tarian rangda dan barong, kerap digambarkan bahwa rangda adalah simbol Adharma dan barong adalah simbol Dharma.
“Kedua hal ini merupakan bagian dari dunia yang tidak dapat dipisahkan, dan menyatu untuk menyeimbangkannya,” sebut Komang Gases. Nilai harmonisasi tersebut yang harus dipahami oleh masyarakat. Sehingga barong dan rangda, yang merupakan iconnya Bali bisa terus lestari dan dipelajari oleh generasi penerus. Sebagai warisan seni budaya yang adiluhung. (ask)