"I Ketut Guweng mengatakan, kata wariga berasal dari kata wara yang berarti paripurna, i berarti menuju atau mengarah. Kemudian ga yang artinya sarira atau badan yang belum berwujud," jelas pensiunan Dosen Unud ini.
Sehingga kata wariga berarti mendapatkan sinar yang terang di angga sarira, sesuai dengan penjelasan di lontar Wariga Gemet lembar 11a.
Sehingga wariga menjadi dasar jalan dalam melaksanakan pekerjaan, dengan dasar hari yang baik sehingga diharapkan semuanya berjalan lancar dan diberkati.
"Sehingga inti dari belajar wariga adalah mencari hari baik, untuk memulai menjalankan atau melaksanakan sebuah pekerjaan agar mendapatkan berkah dan berjalan lancar," sebut beliau.
Dalam Wariga Gemet, dijelaskan untuk melihat padewasan patut memakai aturan-aturan yang dasarnya dari beberapa hal.
Diantaranya adalah wewaran alah dening uku, uku alah dening tanggal panglong, pananggal panglong alah dening sasih. Kemudian sasih alah dening dauh, dauh alah dening wetu.
"Yang dimaksud wetu disini adalah Sang Hyang Tridasa Saksi yaitu Sang Hyang Surya, Sang Hyang Candra, dan Sang Hyang Pertiwi," sebut beliau.
Termasuk pula Sang Hyang Apah (air), Sang Hyang Agni (api), Sang Hyang Anila (angin), Sang Hyang Akasa (langit), Sang Hyang Atma, Sang Hyang Yama (sabda), Sang Hyang Ahas (rahina), Sang Hyang Dwaja (pagi), Sang Hyang Sandya (senja), Sang Hyang Ratri (wengi).
Baca juga: Candi Prambanan & Borobudur Kini Dapat Dimanfaatkan untuk Kegiatan Keagamaan Umat Hindu & Buddha
Baca juga: Metatah Umat Hindu Bali, Menghilangkan Sad Ripu Dalam Diri Manusia
Sehingga dasar dari wariga adalah Tuhan dan manifestasi beliau itu sendiri.
(*)