Berita Denpasar

Simak Sistematika Dalam Pembuatan Kalender Bali, Berisikan Ciri Matematis Hingga Ciri Geografis

Penulis: AA Seri Kusniarti
Editor: Karsiani Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI- Kalender Bali

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Praktisi Wariga, I Gede Marayana, menjelaskan ihwal tata cara pembuatan sebuah kalender Bali.

Selama ini kalender Bali berbeda dengan kalender pada umumnya.

Kalender Bali memiliki banyak informasi tentang wewaran, hari baik, dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan wariga. 

Dalam materi yang dibawa untuk serangkaian kegiatan Bulan Bahasa Bali.

Ia menjelaskan bahwa kalender adalah tata-titining kala (waktu), dan hal ini telah ada serta dipelajari oleh leluhur khususnya umat Hindu sejak zaman dahulu.

Tentu saja ada aturan-aturan yang perlu ditaati, dalam penciptaan sebuah kalender Bali. 

Baca juga: Dendam Adalah Racun Penghancur Hati, Nitisastra Sebutkan Pentingnya Memaafkan Dalam Hindu

Baca juga: Candi Prambanan & Borobudur Kini Dapat Dimanfaatkan untuk Kegiatan Keagamaan Umat Hindu & Buddha

Baca juga: KRONOLOGI Meninggalnya Novi Amelia, Lompat dari Lantai 8 Apartemen, Lakukan Hal Ini Sebelum Terjun

"Kegunaan kalender, khususnya kalender Bali adalah untuk melihat dedinan atau dewasa," jelasnya, Kamis, 17 Februari 2022.

Entah itu melihat hari baik untuk bekerja, bahkan hari baik untuk melaksanakan Panca Yadnya dalam agama Hindu.

Untuk itulah, dalam pembuatan kalender Bali ada sistematikanya. 

Penjelasannya, sistematika ini diikat oleh beberapa ciri-ciri.

Diantaranya adalah ciri matematis adalah bilangan yang dipakai dasar umur, hari, dan pekan, bulan hingga tahun.

Kemudian ada ciri sistimatis, atau ciri dari melihat tatanan matahari, bulan, bintang dan wuku. 

"Untuk memastikan umur, dengan hari, pekan, bulan, hingga tahun," katanya.

Kemudian ada ciri geografis, yaitu ciri letak matahari, bulan, bintang dan ciri jagat yang dipakai aturan-aturan.

Termasuk melihat akhir dan awal tahun.

Ada pula ciri religius, yaitu ciri-ciri dan isyarat pekan yang diikat oleh pangider Sang Hyang Surya, Sang Hyang Candra, dan Sang Hyang Wintang. 

"Keempat ciri inilah yang digunakan sebagai aturan-aturan, saat menyusun dan menulis sebuah kalender Bali," sebutnya.

Artinya, tambah dia, ciri matematis untuk mengetahui tahun.

Ciri sistimatis untuk mengetahui tahun dan tatanan bulannya.

Ciri geografis untuk tatanan pengganti tahun. 

Kemudian disempurnakan dengan sejarah yang ada.

"Inilah yang dijadikan dasar menyusun sebuah kalender Bali, dari dahulu hingga sekarang," sebutnya.

Tentu saja agar kian paripurna, kalender Bali didiskusikan dengan para ahli seperti pada paruman (rapat) sulinggih di PHDI pada tanggal 18 September 2001 bertempat di Pura Batukaru, Tabanan. 

Kala itu dipimpin mendiang Ida Peranda Made Gunung dengan narawakya I Gede Marayana.

Maka ciri aturan-aturan kalender Bali itu, kata dia, memakai aturan sasih (bulan), mala-masa, mala jhista dan mala sadha.

Seperti Tilem Kesanga ada di bulan Maret untuk tahun Masehi.

Sebagai tanda hari Nyepi, atau tahun baru Bali (Icaka) dalam kalender Bali. 

Ida Pedanda Nabe Gede Buruan dari Gria Sanding Pejeng, menjelaskan tentang ala ayu padewasan wewaran yang memang banyak dijelaskan dalam cakepan lontar.

Bahkan banyak cakepan lontar yang telah disalin ke dalam aksara latin.

Beliau juga menjelaskan wariga, berasal dari kata warah + ing + raga.

"I Ketut Guweng mengatakan, kata wariga berasal dari kata wara yang berarti paripurna, i berarti menuju atau mengarah. Kemudian ga yang artinya sarira atau badan yang belum berwujud," jelas pensiunan Dosen Unud ini.

Sehingga kata wariga berarti mendapatkan sinar yang terang di angga sarira, sesuai dengan penjelasan di lontar Wariga Gemet lembar 11a.

Sehingga wariga menjadi dasar jalan dalam melaksanakan pekerjaan, dengan dasar hari yang baik sehingga diharapkan semuanya berjalan lancar dan diberkati. 

"Sehingga inti dari belajar wariga adalah mencari hari baik, untuk memulai menjalankan atau melaksanakan sebuah pekerjaan agar mendapatkan berkah dan berjalan lancar," sebut beliau.

Dalam Wariga Gemet, dijelaskan untuk melihat padewasan patut memakai aturan-aturan yang dasarnya dari beberapa hal. 

Diantaranya adalah wewaran alah dening uku, uku alah dening tanggal panglong, pananggal panglong alah dening sasih. Kemudian sasih alah dening dauh, dauh alah dening wetu.

"Yang dimaksud wetu disini adalah Sang Hyang Tridasa Saksi yaitu Sang Hyang Surya, Sang Hyang Candra, dan Sang Hyang Pertiwi," sebut beliau.

Termasuk pula Sang Hyang Apah (air), Sang Hyang Agni (api), Sang Hyang Anila (angin), Sang Hyang Akasa (langit),  Sang Hyang Atma, Sang Hyang Yama (sabda), Sang Hyang Ahas (rahina), Sang Hyang Dwaja (pagi), Sang Hyang Sandya (senja), Sang Hyang Ratri (wengi).

Baca juga: Candi Prambanan & Borobudur Kini Dapat Dimanfaatkan untuk Kegiatan Keagamaan Umat Hindu & Buddha

Baca juga: Metatah Umat Hindu Bali, Menghilangkan Sad Ripu Dalam Diri Manusia

Sehingga dasar dari wariga adalah Tuhan dan manifestasi beliau itu sendiri. 

(*)

Berita Terkini