Berisi lauk mie, tempe, ayam suiran, sambal goreng kentang dan buncis, telor, dan sambal.
Untuk sate-sateannya, mulai dari Rp 3 ribu.
“Nasi jinggo kan memang harus pedas. Saya dari Pekalongan, tapi kalau di Pekalongan ciri khasnya bukan pedas. Di Pekalongan itu ciri khasnya Megono, kalau di Bali kan ada lawar,” sambungnya.
Peminat nasi jinggo Mak Ijah ini cukup banyak ada yang minta dibungkus untuk dibawa pulang, atau makan di tempat.
Tak ayal, Mak Ijah mengaku, dalam seharinya ia bisa menyiapkan 20-25 kilogram beras untuk nasinya.
“Kalau berapa porsi yang terjual saya nggak itung,” ucapnya.
Sejak diviralkan salah satu akun kuliner di sosial media, Mak Ijah menerima banyak pelanggan tidak hanya dari Pedungan, Denpasar, bahkan sampai pelanggan dari Kuta dan Nusa Dua, Badung.
Tidak sedikit juga ia menerima pesanan dari ojek online.
“Biasanya yang beli muda-mudi, tapi ada juga yang tua. Tidak mesti,” katanya.
Nasi jinggo kolong meja Mak Ijah ini buka dari pukul 18.00 Wita sampai pukul 02.00 Wita.
“Saya buka setiap hari kalau bapak nggak capek, karena yang masak nasi bapak. Saya cuma lihat-lihat saja, karena ada yang bantu masak lauk tiga orang. Masak biasanya mulai 13.00 Wita, karena ini motong-motong kan lama,” tutupnya.
Salah seorang pelanggan, Cindy Lama, mengatakan, ia sudah berlangganan nasi jinggo Mak Ijah sejak setahun lalu.
Diakuinya, yang menjadi juara di sini adalah ayam suir dan sambalnya yang pedas.
Harganya yang terjangkau juga menjadi alasan Cindy untuk kerap kali datang ke lokasi.
“Saya bisa seminggu tiga kali ke sini. Rasanya memang enak,” kata Cindy.(*)
Kumpulan Artikel Kuliner Bali