"Tetapi tradisi makotek di masa penjajahan sempat dilarang oleh Belanda. Kita dikiranya akan melakukan pemberontakan, karena saat itu menggunakan tombak," terangnya.
Namun setelah beberapa kali tidak digelar, lanjutnya, terjadilah wabah penyakit di Desa Adat Munggu. Dari kejadian tersebut banyak masyarakat yang meninggal. Sehingga para tokoh agama dan adat melakukan negosiasi dengan penjajah.
Akhirnya tradisi makotek kembali diizinkan dilaksanakan, namun menggunakan kayu pulet sebagai pengganti tombak.
"Mulai saat itu, tradisi makotek dipercaya sebagai penolak bala, atau pengusir roh-roh jahat atau yang namanya bhuta kala. Dengan keyakinan itu, sampai sekarang dilaksanakakndi di Desa Adat Munggu," imbuhnya. (*)