Lebih lanjutnya ia mengatakan, kemudian yang menjadi titik permasalahannya ada pada Pasal 240 ayat 1 huruf K yang menyebutkan, bahwa badan lain dan keuangan negara harus ada pengunduran diri dan tak bisa ditarik kembali ketika mengikuti pencalonan legislatif.
“Inilah ada presepsi badan lain dan ada badan lain yang menyamakan dengan desa adat. Padahal tidak benar itu. Yang dimaksud badan lain itu adalah instansi yang masuk hukum positif.
Sementara desa adat sendiri mengacu pada Perda Nomor 4 Tahun 2019, di sana disebutkan bendesa dan keuangannya darimana dan tugasnya darimana. Tidak boleh dipakai acuan penyelanggaraan Pemilu,” imbuhnya.
Sehingga dari ketentuan tersebut mengalami “conflict van norm”, maka secara teoretik hukum adalah tidak dapat berlaku yang bersifat legal and binding untuk mengatur bandesa adat dan prajuru desa adat dilarang mencalonkan diri dan/atau mengundurkan diri terlebih dahulu, ketika menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta menjadi calon dalam Pilkada. Dan juga tidak ada larangan menjadi anggota dan/atau pengurus parpol. (*)