TRIBUN-BALI.COM - Ratusan krama adat Bugbug, Kecamatan Karangasem mesadu ke Kantor Wakil Bupati (Wabup) dan Kantor DPRD Karangasem, Selasa (27/3/2023) siang.
Kedatangannya untuk menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan resort berbintang di Kawasan Gumang, Bugbug, Karangasem, Bali.
Penyampaian aspirasi diawali orasi di sekitar Jalan Raya Ngurah Rai, Kelurahan Karangasem, tepatnya di depan Kantor Bupati Karangasem.
Krama datang dengan mengenakan pakaian adat. Membawa banner dan spanduk bertulisan penolakan pembangunan resort, dan menolak ekploitasi kawasan suci Pura Gumang di Bugbug.
Baca juga: Pemda Karangasem Tidak Pernah Keluarkan Izin & Rekomendasi Pembangunan Resort
Baca juga: 7 Anak Pelaku Penganiayaan Hingga Yohanis Meninggal Dunia di Dewi Madri Disidang!
Beberapa menit kemudian, perwakilan massa memasuki kantor wakil bupati untuk menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan resort.
Sedangkan ratusan krama menunggu, serta menutup akses jalan raya. Mereka meminta agar Bupati Karangasem menutup pembangunan resort yang sudah berlangsung sejak 2021.
Setelah penyampaian aspirasi di kantor wakil bupati selesai, krama melakukan long march ke Kantor DPRD Kabupaten Karangasem.
Jaraknya sekitar 500 meter. Beberapa kali massa meneriakan penolakan, dan menyanyikan lagu perlawanan pembangkit semangat warga. Jalanan macet beberapa menit dikarenakan aksi ini.
Sesampai di Kantor DPRD, massa disambut Ketua DPRD Karangasem, Wayan Suastika didampingi Ketua Komisi I, Nengah Suparta.
Serta Ketua Komisi III Komang Mustika Jaya. Perwakilan massa diterima di lantai II kantor DPRD, sedangkan masyarakat tunggu di wantilan DPRD sembari menunggu respon pimpinan DPRD.
Koordinator gerakan masyarakat santun dan sehati (Gema Santhi) Tim 9 di bidang hukum, Komang Ari Sumartawan, mengatakan krama menolak pembangunan resort di kawasan suci Pura Gumang.
Penolakan disebabkan beberapa faktor. Satu diantaranya lokasi pembangunan merupakan hutan lindung, dan dekat pura.
Resort yang dibangun berjarak 5 meter dari Pura segara dekat kawasan Pura Gumang.
Lokasi pembangunan merupakan kawasan suci, dan hutan lindung. Masyarakat meminta agar pembangunan tak dilanjutkan.
Kawasan suci Pura Gumang merupakan tempat suci yang disakralkannya. Dan jangan sampai diubah.
"Radiusnya masuk kawasan suci, ketika masuk radius kesucian berarti masuk hutan lindung. Berarti harus ada izin amdalnya," jelas Komang Ari Sumartawan.
Selain berada di radius kawasan suci, proses mengurus izinnya juga tak sesuai.
Menurutnya, pembangunan resort sekitar kawasan suci Pura Gumang, hanya menggunakan izin UKL serta UPL.
Tidak ada izin amdal. Sesuai dengan peraturan kementerian, ketika berdampingan dengan hutan lindung wajib menggunakan amdal.
"Sedangkan bangunan itu hanya menggunakan izin UKL & UPL dengan resiko rendah. Sesuai peraturan menteri lingkungan, ketika berdampingan dengan kawasan hutan lindung wajib menggunakan Amdal.
Saya sudah punya SK menteri, kawasan hutan lindung luasa lahan sebanyak 50 hektar,"tambah Sumartawan.
Luas bangunan (resort) dua hektar. Berdampingan langsung dengaan kawasan suci serta hutan lindung.
Sesuai peraturannya, bangunan itu harus Amdal. Pemerintah Daerah Karangasem seolah - olah tidak tahu dengan ada persetujuan lingkungan dari pusat. Pihaknya minta agar pembangunan distop.
Pihaknya menduga pembangunan resort dilakukan sebelum keluarnya izin. Masyarakat merasa keberatan dengan adanya pembangunan resort ini.
"Kita keberatan dengan pembangunan ini. Pembangunan dilakukan dari 2021. Gelombang penolakannya sudah dari tahun lalu. Izin UKL dan UPL baru keluar 22 Juni," imbuhnya.
Warga sempat memasang portal di lokasi pembangunan, tetapi dibongkar.
Masyarakat sudah beberapa kali sampaikan ke pemerintah, tapi tak digubris. Warga sempat mengancam, tapi tak ada tanggapan dari pemerintah.
Proyek tetap jalan. Seharusnya saat warga ajukan keberatan, pemerintah harus melakukan tindakan.
"Warga berharap agar pembangunannya ditutup. Pembangunan fisik sudah mencapai 50 - 60 persen.
Seandainya tidak mendapatkan respon, kita akan tempuh jalur lainnya dan upaya hukum.
Investor yang membangun yakni dari luar negari. Masyarakat menolak tanah desa adat disewakan," tambah Komang Ari Sumartawan.
Kata Ari Sumartawan, Pemerintah Karangasem mengaku tidak mengetahui izin yang dikeluarkan pusat.
Pemda Karangasem juga tak memberi rekomendasi."Pemda hanya tahu jika izin keluar dari pusat. Izin terintegrasi. Pemerintah daerah geraknya kurang sigap mengatasi masalah ini," imbuh Sumartawan.
Pihaknya akan berkoordinasi kembali, seandainya tuntutan warga tidak diakomodir. Masyarakat sangat berharap pembangunannya ditutup, dan tidak dilanjutkan.
Warga meminta agar kawasan suci Pura Gumang dijaga dan dilestarikannya. Bagi warga kawasan suci pura memiliki vibrasi yang cukup tinggi.
Hal serupa juga diungkapkan Putu Harta, krama asal Bugbug. Pembangunan resort di kawasan suci Pura Gumang sudah ada pelanggaran.
Izin belum tuntas, pembangunan sudah lakukan. Kesucian pura harus tetap dijaga. Apalagi lokasi pembangunan resort sudah melebihi hutan lindung. Jarak dengan pura segara dekat. (*)