Wawancara Khusus

Gde Sumarjaya Linggih, Anggota DPR dari Partai Golkar Ungkap Pertumbuhan Berkualitas Harus Merata

Penulis: Ida Bagus Putu Mahendra
Editor: Putu Kartika Viktriani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gde Sumarjaya Linggih saat menjadi bintang tamu dalam acara GASPOL (Gagasan Politik oleh Tribun Bali) yang dipandu oleh Direktur Tribun Bali, Fauzan Marasabessy yang tayang di Kanal YouTube Tribun Bali pada Senin 15 Januari 2024 - Gde Sumarjaya Linggih, Anggota DPR dari Partai Golkar Ungkap Pertumbuhan Berkualitas Harus Merata

TRIBUN-BALI.COM - Anggota DPR RI dari Partai Golkar dapil Bali, Gde Sumarjaya Linggih memiliki pengalaman berharga sebelum aktif menjadi politikus dan terpilih masuk jadi anggota legislatif di Senayan.

Poltikus yang akrab dipanggil Demer itu mengisahkan perjalanan karirnya pada acara siniar (podcast) Tribun Bali bertajuk Gaspol dengan host Direktur Tribun Bali Fauzan Marasabessy sambil menumpang mobil Mazda CX60, baru-baru ini.

Berikut petikan wawancaranya:

Bisa cerita sedikit, bapak sudah mampu sejak kecil atau bagaimana perjalanannya hingga saat ini?

Baca juga: Gde Sumarjaya Linggih Bongkar 3 Masalah Utama Bali dan Solusinya

Saya lahir di kampung. Kebetulan ayah jadi Perbekel. Kebetulan mungkin menurun ke saya.

Saya juga tidak menyangka berkarir di politik menurunkan bakat orangtua saya yang jadi Perbekel.

Kebetulan karena Perbekel, orang yang dipercaya, bapak saya.

Dalam perjalanan, saya banyak bergaul. Kebetulan banyak berorganisasi. Organisasi tanpa bentuk, motor-motoran, kemudian berkembang ke organisasi resmi. Saya sempat menjadi Ketua PBVSI, sempat jadi Ketua Umum HIPMI Bali, sempat juga Ketua Kadin.

 

Karena sering bergaul, akhirnya komunitas mendekat ke komunitas partai. Tahun 2003, diajak saya untuk berjuang di Golkar. Akhirnya saya setuju dan 2004 terpilih jadi DPR RI. Golkar kan menampung orang-orang yang memang sempat mengenyam di organisasi. Kebetulan saya memimpin HIPMI.

Kalau berjuang yang lebih matang, memang di DPR. Kita harus memperjuangkan rakyat. Soal makan saya mungkin dari kecil soal makan cukup, jalan-jalan pada masanya cukuplah. Tapi kalau soal manusia itu kan bukan hanya soal makan dan jalan-jalan.

Sama kayak Pak Prabowo juga kan bukan sekedar makan. Mungkin kalau beliau makan, jalan-jalan mungkin sudah cukup, tapi kan ada panggilan hati, panggilan jiwa yang harus kita ikuti, yang harus kita juga perjuangkan untuk tabungan di akhirat.

Kita selalu memperjuangkan hak-hak di Bali ini. Kemudian juga kita selalu menyuarakan kalau ada hal-hal yang kurang pas menurut pemikiran ataupun menurut teori yang ada ataupun menurut pengalaman-pengalaman yang ada kurang pas, saya berikan komentar itu.

Misalnya di Bali, kita tahu bahwa ada beberapa hal sebenarnya di Bali yang harus kita perhatikan untuk pertumbuhan ekonomi ini. Pertama tentu adalah infrastruktur. Infrastruktur kita juga cukup berat sekali sekarang ini. Baik infrastruktur di jalan, infrastruktur di pelabuhan, airport maupun infrastruktur di laut.

Sekarang ini untuk airport, bandar udara ini sebenarnya pintu utama untuk turis. Ini juga harus diperjuangkan, harus disuarakan, harus berusaha diberikan pengertian tentang bagaimana pentingnya airport.

Saya ingin sekarang menyimpulkan sedikit, bahwa yang dibutuhkan itu adalah satu infrastruktur tadi. Kedua, human capital manusianya itu sendiri harus dididik dengan baik. Jadi manusianya harus pintar, harus mulai terdidik.

Kita ini paling rendah di Indonesia. Paling rendah negara kita membiayai pendidikan ke luar negeri. Ketiga, itu selain pendidikan yaitu good governance. Good governance itu ya itu salah satunya sampah. Itu adalah masalah good governance juga bagaimana mengelola sampah dengan baik.

Saya berpikir tiga hal itu yaitu infrastruktur, kemudian manusianya, ketiga tata pengelolaan pemerintahannya yang baik. Terus masalah harus menyeimbangkan pertumbuhan, menyeimbangkan pertumbuhan itu adalah kalau kita ngomong pertumbuhan, maka pertumbuhan itu harus ada syarat-syaratnya.

Pertumbuhan yang berkualitas itu ada syaratnya yaitu pemerataan, dan timbul pelaku baru. Kalau tidak ada pemerataan, maka rasio semakin lebar.

Kemudian kalau tidak juga timbul pelaku baru, konglomerasi, yang kaya itu-itu saja. Ini penting jangan sampai pertumbuhannya tidak merata, hanya di Denpasar saja pertumbuhannya. Bagaimana dengan Bali utara, Bali timur, bagaimana dengan Bangli di Bali tengah.

Di situlah sebenarnya pemerintah hadir. Kenapa dibentuk pemerintahan, tujuannya adalah untuk mengatur pemerataan.

Maksudnya adalah dengan melalui peraturan-peraturan, dengan perundang-undangan, salah satunya juga instrumennya pajak.

Majakin orang kaya, mensubsidi orang miskin. Majakin juga di orang-orang yang mempunyai ekonomi tinggi, pergerakan ekonomi tinggi, membuat infrastruktur di tempat lain.

Kalau saya lihat di Bali ini, penting pemerataan itu karena kita tahu bahwa pemerataan itu sangat erat hubungannya dengan adat istiadat.

Bagaimana hubungannya dengan adat istiadat?

Ngomongin Bandara Bali Utara, airport itu bukan sekedar lapangan untuk mendaratkan pesawat. Cuma multiplier efeknya luar biasa.

Kalau dulu ada namanya budaya air, kalau budaya air itu penduduk itu bercocok tanam di aliran sungai, sehingga ada air dan sebagainya.

Kalau sekarang itu budaya Jalan aspal. Jalan aspal apa sumbernya? Airport.

Misalnya, namanya Celuk, yang hidup dengan perak. Perak itu yang duluan itu di Beratan, di Buleleng.

Cuma karena mereka tidak pada budaya jalan aspal, turisnya kurang dan sebagainya, ini enggak berkembang.

Tidak berkembang di sananya akhirnya itu-itu juga. Karena kan pengaruh desain, dan sebagainya itu dibawa dari ini, air, yang mengalir dari airport ini.

Orang-orang yang mengalir dari airport ini membawa desain, membawa teknologi. Akhirnya menyebabkan mereka tumbuh dengan baik ini di Celuk ini.

Berkembang dan bisa menjadi produk pasar internasional, karena telah diajarkan secara internasional.

Ini yang saya maksud, kenapa bandara itu perlu dengan adat dan istiadatnya, akan justru kalau tidak ada keseimbangan pemerataan, tidak ada airport lagi di Bali Utara, ini terjadi, jadi sekarang ini sudah terjadi.

Pertama, pertumbuhan itu sangat sentralistik di Selatan, yang akhirnya menyebabkan inflasi yang sangat tinggi.

Inflasi ini adalah naiknya harga-harga, termasuk harga kebutuhan pokok. Ketika naik, yang kasihan penduduk aslinya Denpasar, penduduk aslinya Badung, kenapa kasihan? karena mereka yang mempunyai penghasilan yang rendah, atau anggaplah pegawai negeri yang golongan 2A atau pekerja serabutan, mereka berat untuk mengikuti kenaikan-kenaikan dari harga ini. Gaji mereka enggak cukup untuk mengikuti kenaikan harga ini.

Akhirnya mereka jual tanahnya, jual rumahnya, Kenapa kok jual rumahnya? Rumahnya tiba-tiba harganya 1 miliar per are, akhirnya dia membeli rumah yang 100 juta per are di daerah Tabanan, daerah Gianyar.

Akhirnya meninggalkan banjarnya, meninggalkan dadianya, meninggalkan komunitasnya, desanya yang akhirnya tentu kalau sudah meninggalkan desanya, meninggalkan dadianya, maka hilanglah kekerabatan, gotong royong, adat istiadat Bali.

Saya khawatir ke depan, kalau ini terlalu tinggi terus, sama dengan di Jakarta.

Orang Betawinya hilang, terpinggirkan karena enggak mampu mengikuti kenaikan harga.

Jadi itu dasar dari pemikiran pemerataan tadi?

Jadi pertumbuhan itu enggak boleh terlalu tinggi juga. Jadi sedang-sedang saja sehingga meratakan ke utara.

Di utara juga begitu, adat istiadat bisa hilang kalau tidak ada pemerataan, tidak ada kucuran pembangunan pertumbuhan di sana karena kita tahu kalau pertumbuhannya rendah, maka penyerapan tenaga kerja rendah.

Maka dia terpaksa, karena tidak terserap, carilah dia ke selatan.

Di Selatan mau jadi pembantu, mau jadi security.

Misalnya airport itu saya terus bersuara, karena ini sangat memungkinkan untuk pemerataan.

Banyak juga yang kontra, Bali kecil, kenapa harus ada dua bandara?

Singapura tiga kok. Jadi bukan itu alasannya. Secara garis besar itu nyambung, bahwa human-nya kita jaga, dengan pemerataan yang baik, otomatis pasti menghasilkan sumber daya-sumber daya yang terbaik.

Itulah yang disebut kesejahteraan.

Jadi pendidikannya bagus, ekonominya bagus.

Kemudian mereka masih bisa ke arah spiritual yang lebih baik.

Ngayah dan sebagainya, itu bukan hanya sejahtera, tapi itu sudah bahagia namanya.

Karena itu sudah memasukkan unsur dari spiritual.

Itulah kehidupan orang Bali yang seharusnya bisa kita.

Saya juga (harap) pendidikan juga. Pendidikan masyarakat di Bali ini ditingkatkan terus.

Sekarang SD sampai SMP kan?

Kita tahu ada Bali Mandara, sekolah yang orang miskin itu, saya sangat senang, mungkin sudah hampir empat kali saya ke situ.

Di situ ada orang-orang miskin yang mampu sekolah, dibiayai oleh pemerintah, orangnya pintar.

Jadi seleksinya itu akademik, kedua baru ke seleksi namanya focus group discussion. Home visit. betul-betul dikunjungi ini rumahnya, ini benar orang miskin.

Tadi saya sempat korek-korek dulu ya ke beberapa teman, ternyata bapak juga aktif bangun Pura. Kemudian sampai juga bapak memperhatikan kalau ada jalanan yang enggak layak. Hal-hal tersebut itu sebetulnya bapak sudah lakukan dari dulu-dulu atau baru-baru ini?

Keluarga kami mungkin kalau boleh dibilang memang arahnya lebih banyak kepada pemberdayaan masyarakat karena dari dulu ajaran orang tua.

Kalau di Desa Tajun, nanti bisa cek aja di Desa Tajun, beberapa Pura itu justru diprakarsai oleh keluarga kami untuk renovasinya jauh sebelum saya menjadi anggota dewan.

Kadangkala memang ada hal-hal yang spontanitas, yang saya sumbangkan, saya harus perhatikan.

Ada satu kalimat yang saya ingat sampai sekarang pun, selama kita bisa memberi, memberilah.

Selama tidak perlu meminta, tak sangat perlu, janganlah meminta.

Kalau ibu beda lagi, kalau ibu tu biasa rajin sembahyang, jaga emosi, jaga kesehatan. S

atu hal yang saya ingin ceritakan, yang paling membanggakan saya, saya mengkreasi sebuah pemikiran yaitu jadi kreator Gong Perdamaian Dunia.

Gong Perdamaian Dunia ini adalah sebuah benda Gong yang saya ciptakan dengan sekeliling bendera dunia, di tengahnya itu ada gambar global, terus ada tulisan Gong Perdamaian Dunia dan World Peace Gong.

Gong ini dipasang sudah di Cina, sudah dipasang di India, sudah dipasang di Hungaria, sudah dipasang bahkan di Ukraina, sekarang ini sudah sekitar 15 negara.

Di Bali itu yang di Kertalangu. Cita-cita saya nanti akan terjadi Hari Perdamaian Dunia di mana nanti kita akan sama-sama merayakan perdamaian, dengan sama-sama detik yang sama di seluruh dunia memukul gong itu. 

(*)

Berita Terkini