Kisah Ali Yasmin, Anak Indonesia Ditahan di Penjara Australia, Kini Menangkan Gugatan Class Action

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ali Yasmin.

TRIBUN-BALI.COM, BADUNG - Ali Yasmin, anak Indonesia pernah dipenjara selama 2 tahun lebih di penjara dewasa Australia, ia buka suara mengenai pengalamannya mendekam di balik pengapnya jeruji Penjara Hakea yang tak semestinya ia rasakan, dan akhirnya berhasil menang dalam gugatan class action dengan bantuan berbagai pihak di Australia yang menaruh perhatian.

Pria asal Lembata, Nusa Tenggara Timur ini ditahan secara tidak adil oleh pihak berwenang Australia saat memasuki perairan Australia dengan perahu yang membawa pencari suaka imigran gelap Afghanistan.

Ia yang saat itu masih anak-anak, sejatinya ia korban penipuan tenaga kerja sebagai anak buah kapal (ABK), dan tidak tahu menahu tujuan nahkoda kapal ternyata mengarah ke Australia saat itu dari Pelabuhan Muara Angke Jakarta yang mengangkut puluhan imigran gelap Afghanistan. 

Yasmin ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa, padahal seharusnya anak-anak dikembalikan ke negara asal.

"Saat itu, ada pria asal Sulawesi saya sebut Daeng, menawari saya pekerjaan mengantar barang ke pulau-pulau, dijanjikan bayaran Rp 15 juta, saya hanya tahu itu, dan saat itu berada di perairan Australia saya juga tidak tahu itu masuk Australia, saya ditangkap dan ditahan di  penjara orang dewasa, banyak anak-anak di daerah ditipu mengalami seperti saya, mereka sengaja mencari orang-orang di daerah, saya hanya ingin bekerja membantu mama karena bapak sudah meninggal," ujar Yasmin saat dijumpai Tribun Bali, di Badung, Bali, pada Jumat 19 Juni 2024

Yasmin adalah salah satu dari banyak anak Indonesia yang dituntut oleh pihak berwenang Australia setelah mereka dianggap dewasa dengan menggunakan metode rontgen pergelangan tangan untuk memprediksi usia kronologis mereka. 

Yasmin didiagnosis berusia 19 tahun dengan metode itu dan ditahan, karena hukum di Australia orang ditahan di penjara adalah 18 tahun ke atas, sehingga Yasmin langsung ditahan, padahal usai sebenarnya adalah 14 tahun saat itu sekitar tahun 2010, Yasmin lahir pada 12 Oktober 1996. 

"Belakangan metode ini sudah tidak digunakan karena dianggap tidak tepat, setelah kasus ini prosedur itu dianggap salah," ungkap Pengacara dari Ken Cush and Partner, Sam Tierney, didampingi Permerhati Keadilan ‘Justice of the Peace’ di Australia Colin Singer, Administrator ditunjuk oleh Pengadilan Federal Australia, Mark Barrow, Executive General Manager of Australian Unity Trustees, Kirstin Follows dan Kepala Partnerships of Australian Unity Trustees, Sally Fenemor,  serta dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana, Kepala hubungan dan penerjemah, Dominikus Kopong Toni Aman SE., MM. 

Baca juga: Sepanjang Tahun 2023, 60 Persen Perempuan Ajukan Gugatan Cerai di PN Denpasar

Meski masih anak-anak dan memiliki akta kelahiran, Polisi Federal Australia tetap mendakwa dia menggunakan tanggal lahir palsu di pengadilan untuk orang dewasa pada bulan Maret 2010. 

Polisi Indonesia mengirimkan salinan sah akta kelahiran Ali Yasmin ke Polisi Federal Australia, padahal Ali Yasmin berusia 14 tahun pada bulan Desember 2010 ketika ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara sebagai orang dewasa. 

Ali Yasmin menghabiskan 781 hari di dalam penjara Hakea di Perth Australia dengan keamanan maksimum bersama penjahat-penjahat

"Itu tempat yang buruk untuk anak-anak, terdapat pembunuh, pemerkosa, pedofil, punya masalah mental, pengguna narkoba dan penjahat lain Australia bagian Barat, dan Yasmin adalah anak-anak, saya tahu secara emosional pasti terdampak," bebernya. 

Meskipun dengan besarnya jumlah kompensasi yang akhirnya diberikan, Pemerintah Australia hingga saat ini belum mengakui bertanggung jawab karena telah memenjarakan anak-anak Indonesia di penjara dewasa. 

"Anda dapat mengambil kesimpulan sendiri mengenai apakah Pemerintah Australia salah secara moral bersalah karena telah melakukan hal tersebut," tuturnya. 

Perdana Menteri saat itu, Julia Gillard, mengatakan bahwa tidak ada satupun anak Indonesia yang ditahan di penjara dewasa di Australia.

Pernyataan itu kemudian dibantah Pengacara Senior di Ken Cush and Associates, Caitlin O'Brien yang membantu memperjuangkan nasib anak Indonesia bersama Komisi Hak Asasi Manusia Australia, karena praktis tidak ada uluran tangan serius dari Pemerintah Republik Indonesia saat itu meski pihaknya mencoba menjalin komunikasi. 

"Kami sudah mendekati pemerintah Menteri, Komnas HAM, tidak ada satu pun yang tertarik  untuk membantu, mungkin mereka hanya  melihat Yasmin hanya anak nelayan di bawah garis kemiskinan," jelas Caitlin. 

Pada tanggal 17 Mei 2012 Jaksa Agung Australia mengumumkan pembebasan WNI dari penjara.

Sehingga pada tanggal 18 Mei 2012, Ali Yasmin bisa pulang ke Indonesia.

Pada tahun 2017, Pengadilan Banding di negara bagian Australia Barat merasa yakin bahwa telah terjadi kegagalan dalam mencapai keadilan (miscarriage of justice).

Keputusan tersebut membatalkan hukuman tersebut dan seluruh hakim dengan suara bulat menyetujui bahwa Ali Yasmin harus dibebaskan.

"Sejak hukuman Yasmin dibatalkan, kami telah membatalkan 7 hukuman lagi untuk anak laki-laki Indonesia lain yang berasal dari Pulau Alor, Rote dan Wakatobi," tuturnya. 

"Dalam semua kasus di atas  ditemukan bahwa semuanya masih merupakan anak-anak dan telah terjadi ketidakadilan terhadap mereka," imbuhnya.

Pada tahun 2018, Yasmin memulai gugatan kelompok (class action) untuk kompensasi atas dirinya sendiri, dan atas nama anak-anak Indonesia lainnya, yang sebagian besar berasal dari desa nelayan yang dicegat dan ditahan oleh pemerintah Australia.

Pada tanggal 22 Desember 2023, Pengadilan Federal Australia memutuskan untuk memberikan uang sebesar 27,5 Juta Dollar Australia atau setara Rp 270 Miliar sebagai kompensasi bagi anak-anak Indonesia yang ditahan secara tidak sah di tahanan imigrasi dan dipenjara sebagai orang dewasa. 

Pengadilan melihat jumlah uang tersebut sebagai jumlah yang adil dan layak untuk diberikan kepada anggota class action. 

Pengadilan menunjuk Mark Barrow dari Ken Cush and Associates, untuk mengelola skema distribusi kompensasi  tersebut kepada anggota kelompok class action dalam kurun waktu 12 bulan. 

Pengelola dana Kompensasi (Administrator) Mr Barrow,  penerjemah Toni Kopong bersama timnya telah mengunjungi Kupang, Pulau Rote dan Alor dalam tiga bulan terakhir untuk memproses kompensasi para anggota kelompok.

Ken Cush and Associates saat ini mewakili lebih dari 100 anggota grup dan telah bertemu dengan 80 anggota grup dari seluruh Indonesia. 

"Estimasi jumlah anggota kelompok menurut Pengadilan Federal Australia adalah 240 orang," beber Mark.

Berkas Komisi Hak Asasi Australia dan Pengadilan Federal Australia, setelah 10 tahun Ali Yasmin mendapatkan kompensasi class action (gugatan kelompok) sebesar 27,5 juta AUD di Pengadilan Federal Australia untuk anak-anak Indonesia atau setara Rp 270 Miliar. 

"Kompensasi sesuai situasi dan kondisi masing-masing anak oleh waktu dimana mereka di Imigrasi maupun di dalam penjara, saya ditunjuk bekerja dan datang ke Indonesia memproses kompensasi untuk keluarga," tuturnya.

Permerhati Keadilan ‘Justice of the Peace’ di Australia Colin Singer,  mengemukakan, bahwa perjuangan ini bermula saat ia berkunjung sebagai pengunjung independen  pemerhati keadilan di penjara tersebut.

"Saya melihat masalah besar, saya mengunjungi pusat kesehatan ada data anak anak Indonesia, saya di bawa ke blok anak-anak Indonesia ditempatkan, kondisinya memprihatinkan sel yang seharusnya digunakan 1 orang ini untuk 3 orang sampai ada yang kepalanya dekat closet," paparnya.

"Tidak ada perlengkapan ibadah untuk mereka, penanganan kesehatan buruk," sambung Colin. 

Yasmin saat itu tidak punya kesempatan untuk turun atau pulang, dia menjadi korban traffic imigran gelap hingga pada akhirnya dibebaskan saat usia 16 tahun.

Ia menduga secara sistematis dibuat untuk memenjarakan anak-anak Indonesia agar jera. 

"Kami tahu anak Yasmin korban eksploitasi penyelundup manusia, saat itu dia berada di Masjid untuk membantu pekerjaan oleh seorang yanng dianggap paman dijanjikan uang besar, mengantar barang di  pulau-pulau Indonesia," bebernya. 

Pemerintah Australia tidak menyatakan atau mengungkapkan permintaan maaf langsung kepada Indonesia maupun anak-anak para korban ini, namun memberikan 27,5 Juta Dollar Australia untuk korban salah tangkap.

"Australia hanya mersakan dengan membayar uang, secara resmi tidak ada permintaan maaf ke Yasmin, ada perlawanan sengit Pemerintah Australia akhirnya mereka setuju bayar uang kompensasi," ujar dia. 

"Karena proses kompensasi akan berlangsung selama 12 bulan, maka setiap anggota kelompok class action harus menghubungi Pengurus untuk mendapatkan bantuan," pungkasnya.

(*)

Berita Terkini