Ia menyebut, Bali, sejatinya memiliki tata kelola epic yang dikenal dengan istilah Subak yang merupakan metode irigasi tradisional bahkan dengan konsep yang menghargai sekala niskala dengan falsafah Tri Hita Karana yang mana terdapat bagian Parahyangan, Pawongan dan Palemahan di dalamnya.
"Jaringan sistem irigasi tradisional bagaimana menghormati Tuhan mewujudkan harmonis dengan alam, sangat lekat dengan masyarakat yang agraris, subak ini ada dua yakni subak basah dan subak kering, ini menjawab tata kelola air," bebernya.
"Proyek-proyek tersebut justru mengancam Water Security and Prosperity (Keamanan dan kemakmuran air) yang tentunya akan berdampak pada peruntukan pertanian tanaman pangan hingga degradasi budaya dan hilangnya subak yang ada di tapak proyek tersebut" sambung Krisna.
Lebih jauh Subak dengan fungsi hidrologisnya merupakan salah tampungan alami bagi air.
Setiap hektarnya mampu menampung air sebanyak 3000 ton bila air tingginya 7 centimeter.
Apabila subak terus berkurang dan habis maka secara langsung Bali akan mudah diterpa bencana, seperti banjir.
Banyak pembangunan infrastruktur ekstraktif yang dibangun dengan mengorbankan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta tata kelola air subak yang ada di Bali.
"Tentu saja melalui penghentian proyek-proyek yang merusak Subak serta Lingkungan harus ditolak dan dihentikan guna mewujudkan keberlangsungan ketersediaan air dan tata kelola air yang baik di Bali".
(*)