Alasannya, hingga saat ini, Perusahaan masih menerapkan pengupahan dengan UMK terus-menerus. Perusahaan tidak menerapkan struktur skala upah.
“Kalau itu berjalan (skala upah) sebenarnya tidak masalah. Karena kemampuan membayar itu berdasarkan struktur skala upah tersebut. Misalnya saja, dilihat dari jabatan, dan masa kerja. Dari tahun ke tahun, yang terjadi pekerja itu tetap mendapatkan pengupahan UMK sebagai gaji. Dan dengan digaji seperti itu, maka itu keberatan, ditambah dengan potongan lagi dan lagi,” tegasnya.
Menurut Budiarsa, saat ini pihaknya masih mengkoordinasikan di internal Kabupaten Tabanan saja, terkait sikap penolakan Tapera.
Rencananya, pihaknya akan sharing dan sounding ke Provinsi, atau DPD KSPSI Bali untuk menyikapi. Pihaknya berharap, gerakan nantinya harus satu langkah untuk menyuarakan.
“Pekerja-pekerja belum secara resmi mengaku berat. Akan tetapi pembicaraan sudah ada. Misalnya mengaku, kalau harus dipotong lagi hanya personal yang mengaku berat. Kami akan pro aktif untuk gerak langkah ke depan,” bebernya.
Baca juga: Serikat Pekerja di Jembrana Nilai Pemerintah Sepihak, Terkait Pemotongan Gaji untuk Tapera
Untuk diketahui, iuran Tapera ini menjadi sorotan publik, karena memotong gaji pekerja baik PNS maupun swasta sebesar tiga persen.
Tapera sendiri mengacu pada PP No 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Jokowi pada 20 Mei 2024.
Simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar tiga persen dari gaji atau upah peserta, atau penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak pemberlakuan PP No 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyatakan, sejak munculnya UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pihaknya sudah menolak diberlakukannya UU tersebut.
“Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera,” ujar Shinta, Rabu (29/5).
Dia mengatakan, Apindo pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Hanya saja, PP yang baru disahkan pada 20 Mei 2024 itu menduplikasi program sebelumnya.
“Yaitu manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek,” tutur Shinta.
Dia mengatakan, tambahan beban bagi pekerja 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan.
Seharusnya, pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, di mana sesuai PP maksimal 30 persen atau Rp 138 triliun, maka maka aset JHT Rp 460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan Pekerja.