Berita Bali

Komang Widiantari Kembali Jadi Sulinggih Setelah Nikahi Bule di Bangli, PHDI Beri Peringatan!

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sempat Lepas Status Sulinggih karena Nikahin Bule, Kini Komang Widiantari Kembali Jadi Sulinggih

 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Komang Widiantari asal Bangli yang sebelumnya sudah ngelukar gelung dan menikah dengan bule.

Kini kembali madiksa menjadi sulinggih.

Tak hanya dirinya, suami bulenya juga ikut madiksa jadi seorang sulinggih.

Dimana Komang Widiantari menggunakan gelar Ida Pandhita Mpu Budha Maharesi Alit Parama Daksa.

Baca juga: Pasca Ditinggal Ipat, Rumah Nengah Tamba di Jembrana Digeruduk Massa, Perjuangan Harus Dilanjutkan

Hal ini pun menjadi ramai mengingat yang bersangkutan sebelumnya telah menjalani prosesi ngelukar gelung, atau memutuskan melepas gelar sulinggih dan menikah.

PHDI Bali pun angkat bicara dan meminta agar gelar sulinggih tak dipakai mainan.

Pengurus PHDI Provinsi Bali Bidang Agama, Jero Mangku I Kadek Haryanta S.sos. H. M. Fill H. menyayangkan hal tersebut. 

Sebagai praktisi, ia menilai peristiwa ini mencoreng sesana kawikon atau tatanan seorang sulinggih. 

Baca juga: Status Sulinggih Komang Widiantari di Bangli Timbulkan Pro dan Kontra, Nikahi Bule Amerika Disorot

“Kami belum temukan literatur yang membenarkan hal ini.

Betul, bahwa siapa saja dapat menjadi sulinggih setelah melalui proses sesuai aturan agama dan negara.

Tapi secara sosial, tentu ini tidak dibenarkan. Gelar sulinggih jangan dipakai main-main,” ungkapnya Sabtu, 13 Juli 2024. 

Bersama pengurus PHDI Bali, ia berupaya menggali informasi yang valid tentang fenomena ini. 

Terkait administrasi kesulinggihan, ia menyebut PHDI adalah sebagai pelaksana dari keputusan nabe dan sisya. 

Pada posisi ini, penanggungjawab tetaplah nabe yang memberi gelar sulinggih. 

Terkait polemik yang terjadi, ia terus memberi penjelasan kepada umat tentang aturan dan literatur tentang kesulinggihan. 

Hal ini penting, karena fenomena ini tidak saja menjadi sorotan umat Hindu, bahkan dunia.

“Kami tidak melarang siapapun untuk menjadi sulinggih. Ini adalah jalan bhakti yang mulia.

Namun, ada etika sosial yang harus dijaga agar niat baik menjadi sulinggih tidak keliru,” tutur lelaki yang akrab dikenal Jero Mangku Maospait.

Ia menyebutkan, literatur seorang sulinggih lengkap dijabarkan dalam beberapa lontar, diantaranya Bongkol Pangesrayan, Purba Somia dan Tutur Wiksu Pungu yang membahas larangan serta etika seorang wiku. 

Juga mencuat informasi bahwa yang bersangkutan kembali menjadi sulinggih, namun tidak menerapkan Loka Parasyara atau menjadi sandaran umat dalam skala besar. 

Hanya melayani prosesi healing atau penyembuhan dengan yoga dan melukat. 

Kendati demikian, Haryanta melihat sulinggih dan Loka Parasraya tidak bisa dipisahkan. 

“Loka Parasyara itu adalah fungsi sulinggih sebagai sandara umat menemukan lentera kehidupan, di antaranya memberi bimbingan spiritual kepada siapapun, termasuk lintas agama,” sebutnya.

Jangankan dalam ranah sulinggih, kata dia, pada ranah Jero Mangku saja etika harus dijaga, utamanya perilaku. 

Dalam beberapa sastra Hindu disebutkan, kesucian seseorang tidak lahir melalui upacara yang besar, gelar yang tinggi, ataupun biaya yang besar. 

Namun kesucian dibentuk dari perilaku seorang penekun spiritual. 

Dengan adanya fenomena ini, ia mengajak umat Hindu di Bali turut menjaga dresta yang telah turun menurun diterapkan umat. 

“PHDI tentu tidak bisa berjalan sendiri. Kami butuh peran serta umat untuk mengawasi fenomena terkait agama dan isinya,” katanya.

Komang Widiantari kembali madiksa dan berstatus sulinggih setelah menikah dengan bule asal Amerika Serikat.

Status sulinggih Komang Widiantari pun menimbulkan pro dan kontra.

Pasalnya, sulinggih asal Kabupaten Bangli itu pernah ngelukar gelung alias melepas gelar kesulinggihannya tahun 2018.

Ni Komang Widiantari melepas status sulinggih pada tahun 2018 itu karena menikah dengan bule Amerika Serikat.

Setelah menjadi sulinggih, Ni Komang Widiantari kini bernama Ida Pandhita Mpu Budha Maharesi Alit Parama Daksa.

Pro dan kontra status sulinggih itu ramai, karena yang bersangkutan mengunggahnya di media sosial.

Pro kontra, ada yang mendukung dan ada yang mempertanyakannya. 

Berikut postingan bertanggal 26 Juni 2024, ia mengatakan bahwa sejak 24 Maret 2024, statusnya kembali sebagai sulinggih dengan nama 'suci', Ida Resi Salahin.

"Om Swastyastu, astungkara. Saya mengucapkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas terselenggaranya upacara mediksa pada malam bulan purnama tanggal 23 Maret 2024 lalu di Bangli," tulisnya dalam caption sebuah foto yang menunjukkan dirinya mengenakan pakaian sulinggih. 

Lebih lanjut dikatakan, setelah melalui berbagai proses, upacara mediksa akhirnya dapat dilaksanakan dengan penuh khidmat. 

"Sembari memanjatkan doa dan puja, saya menerima penobatan ini dan kembali mengabdikan diri sebagai Ida Resi Salahin sejak 24 Maret 2024," tulisnya. 

Terkait hal tersebut, Tribun Bali pun mencoba mengkonfirmasi alasan yang bersangkutan kembali mediksa.

Namun pertanyaan yang dikirim lewat pesan pada Instagram-nya belum direspon.

Banyak warga khususnya asal Bali mempertanyakan, apakah boleh seorang sulinggih madiksa lebih dari sekali.

Apakah seorang sulinggih yang sudah ngelukar gelung boleh kembali madiksa dan menjadi sulinggih setelah menikah?

Ketua PHDI Bangli, I Nyoman Sukra, mengatakan ada sebuah syarat yang wajib dilakukan jika dikemudian hari yang bersangkutan akan kembali menjadi sulinggih.

Salah satu syarat dari ida nabe, yakni harus melakukan penyucian diri (dharmayatra) selama satu tahun.

Penyucian diri tersebut termasuk di antaranya melakukan perjalanan spiritual ke Sungai Gangga di India dan Angkor Wat di Kamboja. 

“Namun keputusan diterima dan tidaknya menjadi sulinggih lagi, adalah keputusan dari ida nabe,” terang mantan Kadisdikpora Kabupaten Bangli ini.

Sukra saat diminta pandangannya, terkait seorang yang telah menanggalkan status kesulinggihan lalu kembali madiksa, sekali lagi mengatakan bahwa kewenangan tersebut ada pada nabe atau guru sang sulinggih. 

“Urusan sulinggih, domainnya nabe. Masalah boleh tidak boleh, nabe yang punya jawaban, dan sumber sastranya,” katanya.

Lalu bagaimana dengan peran PHDI?

Sukra mengatakan di PHDI jelas sekali diatur oleh kesamuhan agung, tentang persyaratan menjadi sulinggih.

Jadi seorang calon sulinggih harus memenuhi sejumlah syarat dari PHDI.

“Namun dalam pelaksanaannya, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, Desa mawacara. Dan setiap nabe punya dasar sastranya," ujar Sukra.


 
 

Berita Terkini