TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Alat musik tradisional asal Jembrana berupa Jegog, tampak terpampang tepat saat memasuki ruang Paduraksa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha.
Bukan sekadar alat musik biasa, sebab pada masing-masing bilah bambu terdapat berbagai gambar yang seolah menceritakan sesuatu.
Salah satu karya seni prasimologi ini ditampilkan dalam pameran seni rupa bertajuk 'Peta Tanpa Arah'.
Karya ciptaan I Kadek Agus Reka Biambara Putra ini berjudul 'Ndong-Ndeng-Ndung-Nding' yang dibuat dari bambu jegog.
Baca juga: Dibuka Esok, Denfest ke-17 Diikuti 190 UMKM, Libatkan Ratusan Seniman Bali
Kepada Tribun-Bali.com, pemuda yang akrab disapa Reka ini mengatakan butuh waktu 8 bulan lamanya untuk membuat karya ini.
Mulai dari proses riset, mencari bambu, hingga proses menggambar.
"Saya menggunakan metode research based artwork atau karya berbasis penelitian. Di mana saya melakukan penelitian sejarah jegog terlebih dahulu, kemudian divisualisasikan di atas alat musik jegog," ungkapnya Minggu 5 Januari 2025.
Gamelan jegog sejatinya terdiri dari 8 bilah bambu.
Namun pada karya ini Reka hanya menggunakan empat bilah bambu sepanjang 2 hingga 3 meter, yang menurutnya mewakili semua instrumen.
Empat bilah bambu ini merupakan nada dasar, yakni Ndong-Ndeng-Ndung-Nding.
Pada empat bilah bambu ini juga, Reka menceritakan bagaimana sejarah jegog pada masing-masing bilahnya.
Mulai dari awal mula ditemukan oleh Kiyang Geliduh ketika mencari kayu bakar di hutan, yang divisualkan pada bilah bambu Ndong.
Selanjutnya pada bilah bambu Ndeng memvisualkan perkembangan jegog di era Genyor (1912-1945).
Pada era ini Genyor menciptakan beberapa komposisi instrumentalia, dan juga digunakan untuk perayaan panen, hiburan, serta beberapa acara keagamaan.
Kemudian pada bilah bambu Ndung menceritakan era Ni Suprig (1945-1965).
Pada masa ini kesenian jegog dikombinasikan dengan pencak silat hingga menjadi sangat populer di Jembrana.
Terakhir yakni bilah bambu Nding, yang menceritakan era I Nyoman Jayus (1965-1980).
Jayus yang merupakan dosen sekaligus seniman mengenalkan jegog ke berbagai negara.
Ia mengadopsi tari-tari klasik Gong Kebyar serta menambahkan instrumen tambahan lainnya seperti kendang, tawa-tawa, kecek dan suling.
Era ini pula yang menjadi lahirnya Tari Makepung oleh I Wayan Swentra.
Seluruh cerita sejarah ini divisualisasikan menggunakan teknik pirografi (pyrography) atau seni membuat gambar dari hasil pembakaran.
Reka menggunakan logam seperti jarum yang dialiri listrik, untuk menciptakan pembakaran di media bambu.
Proses visualisasi pun diakui membutuhkan kesabaran ekstra.
"Biasanya prasi digambar di lontar. Namun saya eksplor lagi, dan mencari tahu apakah (menggambar di media bambu) ini dikategorikan seni prasi. Ternyata ini dikategorikan sebagai seni prasi karena bercerita dan detail. Hubungannya dengan teknik, saya juga eksplor lagi apakah prasi hanya dengan toreh saja. Ternyata tidak, ternyata bisa menggunakan teknik pirografi," ungkapnya.
Lanjut Reka, untuk bambu yang digunakan jenisnya bambu petung.
Bambu ini ia dapatkan dari wilayah Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.
"Di Jembrana tidak ada pohon bambu, orang dari Jembrana mencari bambu ke wilayah Penebel, Tabanan. Di situlah uniknya, kok bisa di Jembrana tidak ada bambu, tapi jegog ini dari Jembrana," katanya.
Pemuda 21 tahun ini juga mengaku jika ia tetap mencari perajin jegog untuk penyesuaian nada pada karya seninya.
Sehingga walaupun telah diukir, tetap bisa dimainkan dan tidak akan mengubah nada.
Melalui karya ini Reka ingin menghidupkan kembali sejarah Jegog dalam bentuk visual yang lebih kontemplatif, yang dapat dinikmati tidak hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan pelestarian budaya.
"Melalui karya ini pula diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya seni jegog dalam konteks sejarah dan budaya, serta memperkenalkan seni prasi sebagai bentuk seni visual yang tak lekang oleh waktu," ujar pemuda asal Desa Budeng, Kecamatan/Kabupaten Jembrana ini. (mer)
Kumpulan Artikel Buleleng