Mandiri energi ini akan dilakukan melalui pembentukan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dan Surat Edaran Gubernur Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Provinsi Bali.
Gubernur Bali kukuh dan tegas tidak mengizinkan pihak manapun untuk menambah pasokan energi dari luar Bali, bahkan pasokan energi listrik dari Paiton, Jawa Timur kapasitas 340 MW akan difungsikan sebagai cadangan.
Akademisi dari Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. Wijaya Kusuma memberikan tanggapan mengenai pernyataan tersebut.
Ketika blackout kemarin ada wacana Bali mandiri secara energi, namun kata Prof Wijaya sebetulnya Bali sudah sangat mandiri dalam sisi energi karena Bali di cover full baik oleh pembangkit listrik Celukan Bawang, Pemaron, Pesanggaran dan Gilimanuk.
“Bali juga di-supply oleh jaringan kabel listrik bawah laut Jawa-Bali. Jadi kalau dilihat dari tingkat elektrikfikasinya, Bali sudah 100 persen, kemudian Bali dicanangkan untuk mandiri secara energi itu benar tetapi karena tingkat elektrikfikasinya Bali sudah 100 persen, maka kemandirian ini yang harus dijaga adalah bagaimana ini bisa terjaga dengan baik,” jelasnya pada Selasa (6/5).
Lebih lanjut ia mengatakan, jika ingin membangun energi baru terbarukan maka harus dilihat kebutuhan dan interkoneksinya satu sama lain. Jika energi baru terbarukan (EBT) tersebut menguntungkan bagi pengusaha, pasti sudah dikerjakan secara massif. Ketergantungan pada baterai yang membuat EBT ini belum dikerjakan secara massal.
Langkah awal adalah menginvestigasi PLTS yang sudah terpasang saat ini, kemudian dibuat Kajian Kelayakan untuk melihat apakah layak atau tidak EBT dibangun di Bali, terlebih Bali sudah 100 persen elektrifikasinya dan peaker sudah bekerja dengan baik.
“Langkah menginvestigasi PLTS terpasang dan melakukan Kajian Kelayakan di Bali adalah pendekatan yang bijaksana untuk memahami potensi dan tantangan pengembangan EBT secara lebih mendalam di konteks lokal. Kajian yang komprehensif akan dapat menjadi referensi acuan dalam merencanakan transisi energi yang berkelanjutan dan sesuai dengan kondisi spesifiknya,” bebernya.
Referensi kajian agaknya harus lebih publikatif. Kajian ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk potensi sumber daya EBT surya, angin, biomassa, dan lain-lain di Bali.
Serta kebutuhan energi di masa depan, karakteristik beban listrik, kondisi jaringan eksisting, aspek ekonomi termasuk biaya investasi, operasional, dan potensi pendapatan, aspek lingkungan, serta aspek sosial dan budaya. Dan yang terpenting, aspek kebijakan sebagai acuan dasar economic value.
“Buatlah kajian yang komprehensif, dari sisi hukum, sosial budaya, ekonomi dan keteknikan. Hasilnya dipublikasikan dengan mengundang semua pemain dan ahli di bidangnya, dilakukan secara jujur, bukan karena untuk jualan atau kepentingan sepihak,” paparnya.
Ia pun meninjau berita-berita di tahun 2006 ketika Geotermal Bedugul akan dibangun terdapat statement bahwa Bali akan padam, Bali akan gelap, lalu diembuskan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap hidupnya kelistrikan di Bali.
Sampai akhirnya Gubernur Bali dan Ketua DPRD Bali memutuskan menolak. Sebagai bentuk tanggung jawab, maka jaringan Jawa Bali dibangun untuk support kelistrikan di Bali.
Bali diakuinya memang memerlukan kemandirian energi, tapi Bali adalah bagian dari NKRI, dan biarkan tanggung jawab kelistrikan itu di-handle oleh corporate yang tepat dan sudah ditunjuk oleh negara.
Sebenarnya sudah ada beberapa grup siap berkontribusi membangun Bali melalui Bali Go Green. Yang intens dua tahun sebelum G20.