Baginya, bayaran itu sesuai dengan kerja keras ia dan rekan-rekannya selama di atas kapal. Walau tidak dipungkiri, bekerja di kapal pesiar membuatnya stres. Apalagi selama 8 bulan hanya melihat samudera dan lautan luas.
Ia bisa rehat sejenak tatkala kapal berlabuh di pelabuhan (port), dan semua tamu termasuk kru boleh keluar kapal dan berjalan-jalan.
Ia sudah ke berbagai negara dan pelabuhan di Eropa, dan itu menjadi pengalaman terbaiknya. Terkadang saat berlabuh, ia membeli makanan khas dan berburu kuliner enak untuk melepaskan stres.
Sarah mengatakan, banyak yang melepas stres dengan malah main kasino atau judi. Sehingga banyak dari rekannya yang malah kehabisan uang.
Kemudian sisi gelap lainnya, adalah hubungan antar kru yang kerap di luar batas. Selama 8 bulan bersama dalam sebuah kapal, tentu ada saja benih cinta tumbuh.
Namun masalahnya, banyak pekerja yang sudah menikah dan memiliki anak di daerah asalnya. Tapi kemudian nekat menjalin hubungan di kapal, dengan dalih menghilangkan stres.
Perlakuan pada rekan perempuan pun, kata dia, terkadang jauh dari kata hormat. Tidak sedikit rekan pria yang merayu dan memaksa secara halus, rekan wanita untuk melayaninya bak suami istri.
Jika tidak mau, maka akan dibully atau dikucilkan. Yang kemudian menjadi masalah adalah tatkala rekan pria itu lebih senior dari sang wanita, maka bekerja selama 8 bulan tentu menjadi neraka.
Di sinilah butuh kekuatan mental dan fisik, serta batasan-batasan untuk tetap kuat bekerja secara profesional di kapal pesiar. Sarah pun berharap ke depannya, pekerja khususnya dari Bali atau Indonesia saling menjaga jika sama-sama bekerja di kapal pesiar. (*)