TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Sepekan lebih, masalah kelangkaan Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji 3 kilogram (kg) di Kota Denpasar belum menemukan ujung dan pangkal.
Pertamina mengklaim jika distribusi elpiji 3 kg berjalan lancar sesuai kuota.
Namun nyatanya, di lapangan masyarakat kesulitan mendapatkan elpiji 3 kg.
Dan kondisi ini pun telah terjadi berulangkali, seperti tanpa penyelesaian.
Baca juga: Gas LPG 3 Kg Terus Langka, YLPK Bali Minta Pengawasan dan Penindakan, Ada Keluhan Isi Tabung Kurang
Terkait permasalahan itu digelar rapat koordinasi (rakor) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Denpasar bersama Himpunan Wiraswasta Nasional dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Pertamina dan pengampu kepentingan lainnya pada Rabu 13 Agustus 2025.
Dalam rapat tersebut, terungkap jika kondisi di lapangan sulit dikendalikan, karena belum adanya nomenklatur di tingkat pengecer.
Aturan terkait sub pangkalan pun masih belum jelas, dari distribusi hingga harga jual.
Pasalnya di tingkat pengecer harga jual bisa mencapai Rp 27.000 lebih per tabung, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) di pangkalan Rp 18.000 per tabung.
Ketua Hiswana Migas, Dewa Ananta mengatakan, sub pangkalan ini merupakan nomenklatur baru dan muncul sejak adanya penghapusan pengecer elpiji 3 kg.
“Sub pangkalan adalah nomenklatur baru namun belum diatur. Harga di sub pangkalan tidak bisa diatur karena HET hanya sampai di pangkalan. Harga saja belum diatur apalagi distribusinya,” katanya.
Sementara sub pangkalan ini menurutnya adalah pelayan masyarakat kecil sehingga diperbolehkan turut menjual elpiji 3 kg.
Namun dengan tidak adanya aturan, berpotensi merusak rantai pasok di atasnya.
“Makanya sub pangkalan harus diatur. Paling tidak harga bisa diatur, tidak bebas,” terangnya.
Sementara itu, Branch Manager IV Bali Pertamina Zico Aldillah Syahtian mengatakan, semua sub pangkalan sebenarnya harus tedaftar.
Namun fakta di lapangan semua warung bisa menjual elpiji 3 kg meski belum terdaftar.