Berita Bali

Dampak PBB Naik di Bali, Tak Mampu Bayar Pajak Masyarakat Jadi Jual Aset

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengamat Ekonomi dari Bali yakni Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M. Dampak PBB Naik di Bali, Tak Mampu Bayar Pajak Masyarakat Jadi Jual Aset

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdampak pada kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Kabupaten/Kota khususnya di Bali. 

Bahkan dari kajian yang dilakukan, kenaikan PBB dapat mencapai 10 kali lipat. 

Kenaikan PBB ini disinyalir karena Pemerintah Daerah (Pemda) mencari sumber pendapatan lain karena adanya efisiensi anggaran. 

Lantas apa saja dampak yang dihasilkan dari kenaikan PBB tersebut? Ketika dikonfirmasi, Pengamat Ekonomi dari Bali yakni Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M, membeberkan apa saja dampak dari keberlanjutan kebijakan kenaikan PBB hingga 10 kali lipat tersebut khususnya untuk Bali. 

Baca juga: Koster Bakal Bentuk Tim Terpadu Bersih-bersih ‘WNA Nakal’ di Bali: Potensi Kehilangan Pajak

Menurutnya, dampak dari keberlanjutan kebijakan kenaikan PBB yang mencapai hingga 10x lipat akan sangat terasa bagi masyarakat. 

“Beban pengeluaran rumah tangga meningkat, juga potensi tunggakan pajak bertambah, serta dapat mengakibatkan daya beli melemah. Meski PAD bisa naik, kebijakan itu berpotensi memicu keresahan sosial. Pada jangka panjang, bisa mendorong pergeseran kepemilikan lahan, terutama jika masyarakat menjual aset karena tidak mampu membayar pajak tinggi,” ucap Prof Raka, Sabtu 16 Agustus 2025. 

Lebih lanjutnya ia mengatakan, langkah kenaikan PBB dalam kondisi ekonomi masyarakat Bali saat ini saya nilai kurang tepat. 

Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2024 sebesar 5,9 persen, namun belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi yang lalu. 

Daya beli masyarakat masih rapuh, terutama sektor informal dan pariwisata yang baru satu tahun bangkit. 

“Peningkatan pajak justru berisiko menekan konsumsi rumah tangga dan memperlambat pemulihan ekonomi. Kebijakan itu perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan kemampuan riil masyarakat,” sambungnya. 

Sementara jika dilihat dari sisi perhitungan, kenaikan PBB hingga 10 kali lipat jelas tidak proporsional. 

Inflasi nasional tahun 2024 hanya 2,8 persen, sementara kenaikan NJOP di Bali rata-2 berkisar 10–20 persen per tahun. 

Perbedaan tajam antara dasar penetapan NJOP dengan kenaikan tarif PBB menunjukkan adanya ketidakseimbangan. 

Beban fiskal masyarakat menjadi jauh lebih besar dibanding pertumbuhan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi. 

Hal ini menimbulkan ketidakadilan fiskal yang berpotensi atau dapat memicu resistensi warga.

Halaman
12

Berita Terkini