Tidak hanya itu, lahan kosong yang tidak produktif juga dikenakan kenaikan pajak PBB P2. Ini akan menjadi ancaman, berpotensi banyak menjual lahan karena mahalnya PBB P2.
“Iya, mulai ada pertanyaan? Mengapa signifikan cepat sekali. Ada yang 150 bahkan 150 persen. Jadi, kalau sekarang misalnya Rp 4.000.000 menjadi Rp 10.000.000, ada kan 150 persen,” jelasnya saat ditemui di Art Center Denpasar, Jumat (15/8).
Mantan Wakil Gubernur Bali ini menyarankan pemerintah kabupaten/kota meninjau kembali perihal kenaikan PBB P2. Lahan atau bangunan apa saja yang dikenakan kenaikan PBB P2 atau yang dibebaskan. Tujuannya supaya tidak memberatkan masyarakat dan mempertahankan lahan yang dimiliki warga.
“Kalau tanahnya produktif tidak apa-apa. Ya, kalau tanahnya tidak produktif kan juga susah juga. Ini juga tidak, belum clear sekali. Saya menangkap apa yang bebas, apa yang tidak dinaikkan dan lain sebagainya. Ya, rumah tinggal dibilang tidak, tapi ada rumah tinggal yang kayak homestay,” kata dia.
Dengan adanya kenaikan pajak ini dikhawatirkan, makin marak terjadi penjualan lahan dan alih fungsi lahan. Seperti petani yang lebih memilih menjual lahan karena beban pembayaran PBB P2 yang tinggi. Sementara, hasil dari bertani tidak seberapa.
“Mohon maaf. Jadi, ini sebenarnya juga satu hal yang mendorong para petani menjual tanahnya. Ketika dia tidak menghasilkan, tapi pajaknya tinggi, ini khan dari pada dia merawat pajak tanah yang tidak menghasilkan, lebih bagus dia lepas saja. Ini juga salah satu saya lihat berdampak nanti kepada alih fungsi lahan,” tutupnya. (sar)
Masyarakat Jadi Jual Aset
Pengamat Ekonomi Bali | Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M
Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdampak pada kenaikan PBB-P2 di Kabupaten/Kota khususnya di Bali. Bahkan dari kajian yang dilakukan, kenaikan PBB dapat mencapai 10 kali lipat. Pengamat Ekonomi Bali Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M, membeberkan apa saja dampak dari keberlanjutan kebijakan kenaikan PBB hingga 10 kali lipat tersebut khususnya untuk Bali.
Menurutnya, dampak dari keberlanjutan kebjakan kenaikan PBB yang mencapai hingga 10x akan sangat terasa bagi masyarakat. “Beban pengeluaran rumah tangga meningkat, juga potensi tunggakan pajak bertambah, serta dapat mengakibatkan daya beli melemah. Meski PAD bisa naik, kebijakan itu berpotensi memicu keresahan sosial. Pada jangka panjang, bisa mendorong pergeseran kepemilikan lahan, terutama jika masyarakat menjual aset karena tidak mampu membayar pajak tinggi,” ucap Prof Raka, Sabtu (16/8).
Lebih lanjutnya ia mengatakan, langkah kenaikan PBB dalam kondisi ekonomi masyarakat Bali saat ini saya nilai kurang tepat. Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali Tahun 2024 sebesar 5,9 persen, namun belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi yang lalu. Daya beli masyarakat masih rapuh, terutama sektor informal dan pariwisata yang baru satu tahun bangkit.
“Peningkatan pajak justru berisiko menekan konsumsi rumah tangga dan memperlambat pemulihan ekonomi. Kebijakan itu perlu dievaluasi dengan mmpertimbangkan kemampuan riil masyarakat,” sambungnya.
Sementara jika dilihat dari sisi perhitungan, kenaikan PBB hingga 10 kali lipat jelas tidak proporsional. Inflasi nasional tahun 2024 hanya 2,8 persen, sementara kenaikan NJOP di Bali rata-2 berkisar 10–20 persen per tahun.
Perbedaan tajam antara dasar penetapan NJOP dengan kenaikan tarif PBB menunjukkan adanya ketidakseimbangan. Beban fiskal msyarakat menjadi jauh lebih besar dibanding pertumbuhan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan fiskal yang berpotensi atau dapat memicu resistensi warga.
“Standar ideal kenaikan PBB sebaiknya mempertimbangkan inflasi, perkembangan NJOP, dan kemampuan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Kenaikan yang wajar berkisar 10–20 persen pertahun, sehingga msih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan tidak menimbulkan gejolak. Beberapa daerah di Indonesia menerapkan kenaikan bertahap agar masyarakat mampu beradaptasi.
“Jika kenaikan dilakukan di atas angka tersebut, perlu diberikan skema keringanan, misalnya pengurangan atau penundaan pajak untuk kelompok masyarakat rentan,” kata dia. (sar)