Makan Bergizi Gratis

SOAL Keracunan MBG Daerah Lain, Ini Pendapat Akademisi Undikas Wayan Widhiasthini

Akademisi Undiknas, DR. Ni Wayan Widhiasthini S.SOS. M.SI., memberikan tanggapan soal keracunan massal MBG di daerah lain.

ISTIMEWA
DR. NI WAYAN WIDHIASTHINI. S.SOS. M.SI, AKADEMISI UNDIKNAS. 

TRIBUN-BALI.COM - Akademisi Undiknas, DR. Ni Wayan Widhiasthini S.SOS. M.SI., memberikan tanggapan soal keracunan massal MBG di daerah lain.

Program makan bergizi gratis (MBG) khususnya di Bali belum memenuhi target. Dari sasaran penerima 893.362 orang, total yang sudah menerima MBG baru 297.183, atau 33 persen.

Belum tercapainya angka sasaran penerima MBG, karena jumlah SPPG didaerah masih belum banyak. Satu SPPG dapat melayani 3.000 sampai 3.500 penerima MBG

Akademisi sekaligus Wakil Rektor Bidang Akademik Undiknas, Dr. Ni Wayan Widhiasthini. S.Sos. M.Si mengatakan, jika dilihat tujuan dari MBG itu sangat bagus.

Baca juga: Realisasi Dapur SPPG di Bali Baru 33 Persen, Simak Penjelasannya Berikut Ini

Baca juga: ADA Belatung di Sayur? Siswa di Denpasar Ungkap Menu MBG, SPPG Polda Bali Belum Pernah Dapat Keluhan

Namun, dalam penyiapan makanan di MBG, SPPG diminta melibatkan semua bahan lokal. Di mana bahan lokal itu kemudian disiapkan oleh masyarakat di sekitar. Hal ini dari juknis Badan Gizi Nasional (BGN) Permen 83 tahun 2024. 

Dari program MBG ini diharapkan akan terbentuk ekonomi sirkular. Seperti misalnya untuk pemenuhan kebutuhan telur, daging, sayur, buah agar semuanya dipenuhi oleh masyarakat sekitar.

Tidak boleh ada kandungan impor sangat ideal dan bagus jika semua pihak bergerak. Misalnya di suatu daerah memerlukan sekian ratus butir telur, nantinya akan ada masyarakat yang memasok telurnya. 

“Jadi mungkin awalnya mereka bekerja di kota, kemudian sekarang pindah ke desa sebagai pemasok telur, pemasok daging, pemasok sayur dan sebagainya. Sehingga tidak ada lagi mobilisasi masyarakat untuk bekerja di kota Kan gitu harapannya. Jadi ekonomi sirkularnya terbentuk,” ucapnya, Selasa (7/10).

Menurutnya, pergerakan program MBG di Bali ini memang agak lambat. Bahkan diawal program ini hanya berjalan di dua kabupaten yang langsung di bawah BGN yaitu Kabupaten Jembrana dan Karangasem.

Pemda pada saat itu tidak banyak tahu tentang MBG di Bali. Kemudian makin ke sini sudah semakin banyak sasaran penerima mendapatkan MBG. Selain pergerakannya yang lambat, persebaran MBG di Bali juga tidak merata. 

Sedangkan untuk kasus keracunan, sebetulnya ia mengatakan telah mengungkapkan kekhawatiran. Terutama di daerah-daerah yang tidak tersedia SPPG dengan terakreditasi baik, kemudian diserahkan kepada yang bukan ahlinya. 

Lalu bagaimana dengan daerah-daerah di pelosok yang tidak terlampir dalam penyediaan makanan dan susu. Tentang keamanan makanan itu pun juga dipertanyakan. Belum lagi bersentuhan dengan budaya masyarakat setempat. 

“Kemudian kalau diteruskan atau tidak sangat bergantung pada evaluasi dulu. Saya juga sudah pernah menyarankan dari segi akademis, mestinya ada update. Mungkin dianggap ini hal biasa, tetapi kalau kami melihatnya sangat komprehensif,” kata dia. 

“Di update datanya, misalnya kalau di nasional, berapa persen yang sekarang bergerak atau di Bali, berapa persen yang sudah terkena pengimbasan dari MBG itu. Kemudian apa masalah-masalah yang muncul. Jadi semua pihak memiliki atensi,” paparnya. 

Menurutnya, organisasi-organisasi gizi dan persatuan perusahaan katering semestinya bisa dilibatkan. Sehingga semakin mempercepat realisasi penerima MBG. Namun hal itu, tidak dipublish, sudahkah pernah dikumpulkan perusahaan-perusahaan catering? Tidak pernah ada keterbukaan itu kepada masyarakat. 

Sementara jika polanya diubah pemerintah memberikan uang ke orang tua siswa untuk bekal makan anak sendiri untuk cegah keracunan dianggap tak efektif. Terlebih MBG ini diberikan untuk siswa PAUD sampai SMA/SMK. 

Namun dengan jam yang berbeda, ada klasternya. Seperti misalnya anak TK, PAUD sampai kelas 4 SD mendapatkan MBG untuk sarapan pagi kemudian anak kelas 4 SD ke atas itu mendapatkan MBG untuk makan siang. Jadi pola ini kalau diubah berarti harus mengubah dan ada pelanggaran aturan.

“Khan itu jadinya ada perubahan, pelanggaran aturan yang dibuat pemerintah yang awalnya masih tidak berbentuk tunai tapi berbentuk makanan. Saya kira kalau mengalihkan ke bentuk tunai itu juga sangat berisiko. Nanti jatuhnya nggak beli makanan sehat anak-anak itu,” katanya. 

Selama ini belum ada keterbukaan untuk pendaftaran SPPG secara terbuka, klasifikasinya seperti apa. Dan juga pengaktifan organisasi-organisasi terkait. 

Disebutkan, ke depan, MBG harus ada target yang dikejar. Pertama targetnya secara simultan dalam sebulan ini berapa yang terjarak. Sehingga berapa yang terimbas itu terdata juga dengan baik.

Kemudian kelompok sasaran yang akan menjadi urgensi. Mungkin sekolah-sekolah yang agak di pinggir, tidak juga harus yang di kota. Karena di kota mengakses makanan bergizi, makanan sehat itu lebih mudah daripada yang ada di pinggiran kota. 

“Seperti itu, dari pada yang ada mungkin yang di pegunungan sekali. Atau mungkin khususnya yang di dekat laut. Sehingga mereka mengakses sayurnya sulit. Yang seperti itu diutamakan. Ini mapping memang tidak bisa. Harusnya jangan begitu. Pola itu juga yang penting karena transparansi,” ujarnya. (sar)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved