Berita Bali
AMBANG Batas Modal PMA Jadi Rp100 Miliar, Pemprov Bali Bidik Sharing Investor Berkualitas
Di antaranya dengan kondisi dan karakteristik daerah, khususnya Bali yang padat investasi dan memiliki struktur sosial-budaya yang unik.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
Ia juga menyinggung maraknya minimarket berjaringan yang berdiri berderet di kawasan padat penduduk. “Coba lihat, di satu jalan bisa tiga sampai empat minimarket berdampingan. Kalau ini terus dibiarkan, warung kecil dan usaha lokal kita akan mati semua,” kata Koster.
Sejumlah usulan strategis akan disampaikan ke Pemerintah Pusat dan DPR RI usai Rapat koordinasi evaluasi OSS RBA yang dipimpin Gubernur Bali Wayan Koster bersama Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, Dinas PMTSTP Kabupaten/ Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS digelar di Ruang Rapat Kertasabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/10).
Beberapa usulan tersebut yakni pertama, sinkronisasi norma OSS dengan regulasi daerah (RTRW dan RDTR). Kedua, Pengembalian kewenangan verifikasi izin kepada pemerintah daerah.
Ketiga, Klasifikasi ulang sektor usaha, terutama pariwisata dan perdagangan modern, menjadi risiko menengah atau tinggi. Keempat, Kenaikan ambang modal PMA untuk daerah padat investasi seperti Bali.
Kelima, hak koreksi daerah terhadap izin yang melanggar tata ruang atau berkembang melebihi kapasitas. Keenam, Pemberian kewenangan daerah menentukan bidang usaha yang sudah jenuh.
“OSS yang terlalu tersentralisasi ini sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah. Semua kendali ada di pusat, daerah hanya jadi penonton. Kita harus ubah norma-normanya supaya daerah punya ruang untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan budaya Bali,” ujar Gubernur Koster
Koster menyampaikan komitmennya untuk membawa hasil pembahasan ini langsung ke pemerintah pusat dan DPR RI. “Masalah utamanya bukan teknis, tapi normatif. OSS dalam bentuk sekarang telah mengambil alih kewenangan daerah dan menimbulkan banyak korban di lapangan,” katanya.
Koster menegaskan bahwa Bali, sebagai daerah yang sudah matang investasinya, membutuhkan skema kebijakan khusus agar pengelolaan ruang dan investasi tidak menimbulkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan.
“Saya akan sampaikan langsung ke kementerian dan DPR agar norma dan pasal-pasal yang bermasalah disesuaikan. Bali tidak menolak investasi, tapi harus ada keberpihakan yang jelas pada ekonomi rakyat,” pungkasnya. (sar)
Bali Sering Kecolongan
Izin Penanaman Modal Asing (PMA) dikelola oleh pemerintah pusat. Ini menyebabkan jumlah izin UMKM di Bali yang digunakan oleh WNA tak dapat terhitung.
Hal tersebut diungkapkan oleh, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Bali I Ketut Sukra Negara.
Namun, kata Sukra secara ketentuan UU 25/2007 tentang Penanam Modal, modal PMA minimal Rp10 miliar. Sehingga, izin yang diberikan melalui OSS otomatis akan masuk ke golongan/skala usaha besar (non UMKM).
“Jadi klaim izin UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) kepada PMA tersebut secara sistem tidak dimungkinkan dan perlu diperdalam lagi,” jelas Sukra beberapa hari lalu.
Sukra Negara mengungkapkan bahwa dengan aturan seperti ini kemungkinan temuan BPKP adalah izin-izin UMKM orang lokal yang merupakan nominee dari penanam modal luar negeri.
Ia mengungkapkan permasalahan sesunguhnya adalah masih terdapat kegiatan usaha skala rendah yang terbuka bagi PMA, seperti NIB dan Sertifikat Standar terbit tanpa verifikasi, sehingga rentan penyalahgunaan.
Usulan Kenaikan Ambang Modal PMA Untuk Investasi di Bali Akan Diajukan ke Pemerintah Pusat |
![]() |
---|
Pemkot dan Pemkab Se-Bali Terdampak Pemangkasan TKD, Denpasar Kehilangan Rp 244 Miliar |
![]() |
---|
Saring Investor Berkualitas, Pemprov Bali Usul Ambang Batas Modal PMA Jadi Rp 100 Miliar |
![]() |
---|
Koster Buka Posko 24 Jam untuk Turis di Seluruh Destinasi Wisata di Bali |
![]() |
---|
Pro Kontra Pabrik WNA Rusia di Kawasan Tahura, Supartha: Itu Kawasan Resapan Air |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.