Pahlawan Indonesia
TUNTUT Cabut Gelar Pahlawan Soeharto, LBH Bali Sebut Ada Upaya Mencuci Ingatan, Ada 10 Nama Tokoh!
Oleh karenanya, pihaknya mendesak agar Prabowo mencabut gelar pahlawan Soeharto karena dinilai tidak layak.
TRIBUN-BALI.COM - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh dari berbagai daerah yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11).
Adalah, KH Abdurrahman Wahid, Soeharto, Marsinah, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hj. Rahmah El Yunusiyyah, Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.
Dari 10 tokoh yang menuai sorotan adalah gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Bahkan YLBHI – LBH Bali menuntut Presiden Prabowo Subianto agar mencabut gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Soeharto. Pemberian gelar ini dinilai tak sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Kepala Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite mengaku kecewa, marah dan bertanya-tanya terkait pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Menurutnya, hal ini adalah upaya mencuci ingatan masyarakat akan pelanggaran HAM yang terjadi dalam 32 tahun Soeharto berkuasa sekaligus upaya memutarbalikkan sejarah.
Baca juga: TERPAKSA Ngajar Lebih dari 24 Jam, Ratusan Guru Pensiun Tahun Ini, Rekrutmen ASN Belum Ada Kabar
Baca juga: BERAS Dijual di Bawah HET Diburu Warga, Pemkab Gelar Pasar Murah Jelang Galungan dan Kuningan
“Tentu penetapan Soeharto sebagai pahlawan memunculkan luka dan amarah besar bagi masyarakat sipil, apalagi bagi para korban yang sampai saat ini masih terus mencari keadilan,” katanya saat dihubungi Senin (10/11).
Ignatius Rhadite memaparkan, dari berbagai dokumen, kajian dan laporan resmi baik dalam maupun luar negeri, telah terungkap secara jelas bagaimana sepak terjang Soeharto selama memimpin. Banyak terjadi pelanggaran HAM bahkan dari awal menjabat hingga menjelang lengser.
“Dalam konteks pelanggaran HAM, Soeharto bertanggungjawab terhadap pembantaian 65, Talangsari, Semanggi, Tanjung Priok, Tri Sakti, Petrus, sampai penculikan aktivis 1998,” paparnya.
Tak hanya terkait pelanggaran HAM, sejumlah dokumen dan laporan juga menunjukkan praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan Soeharto dan kroninya. Juga lewat UU penanaman modal asing di tahun 1966, Soeharto membuka investasi luar ke Indonesia dan menjual sumber daya alam ke luar, salah satunya Freeport.
Semasa berkuasa, sikap kritis juga dibungkam dengan berbagai cara. Media yang berani mengkritik akan dibredel dan narasi dibuat hanya satu pintu sesuai versi pemerintah. “Mahasiswa di kampus dibatasi ruang geraknya dalam menyampaikan aspirasi dan ekspresi. Lawan politik menjadi tahanan politik tanpa melewati peradilan yang sah,” ungkapnya.
Sehingga saat lengsernya Soeharto atau saat Reformasi muncuk enam tuntutan. Di antaranya tegakkan supremasi hukum, adili Soeharto dan kroni-kroninya, hapus KKN dan menghapus dwifungsi ABRI. “Enam agenda reformasi pasca Soeharto diminta karena memang keenamnya itu dilanggar oleh Soeharto,” imbuhnya.
Baginya, dengan rekam jejak tersebut, Soeharto tak layak dijadikan sebagai pahlawan nasional. Apalagi dalam undang-undang jelas disebutkan, seseorang dapat menerima gelar kehormatan hingga gelar pahlawan apabila berkontribusi besar terhadap negara termasuk dalam perjuangan kemerdekaan.
“Tapi Soeharto ini justru mengkhianati rakyat dan mandat konstitusi,kepercayaan publik dan menciptakan ketakutan,” paparnya. Ia juga memaparkan masih banyak pelanggaran HAM pada masa Soeharto yang sampai saat ini tak kunjung selesai.
“Pemberian gelar pahlawan ini adalah upaya pemerintah mencuci ingatan, memanipulasi sejarah dan represi ingatan,” kata dia. Oleh karenanya, pihaknya mendesak agar Prabowo mencabut gelar pahlawan Soeharto karena dinilai tidak layak.
Pihaknya juga mengaku ironis saat Marsinah yang merupakan korban pelanggaran HAM pada masa Orde Baru mendapat gelar nasional bersamaan dengan orang yang harusnya bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM tersebut. Bahkan sampai saat ini, kasus pembunuhan terhadap Marsinah masih belum terungkap.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan proses pengusulan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari masyarakat di tingkat kabupaten dan kota, kemudian dikaji oleh tim peneliti dan pengkaji gelar daerah.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bali/foto/bank/originals/Presiden-Prabowo-Subianto-menganugerahkan-gelar-Pahlawan-Nasional.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.