Tidak Hanya Penderita yang Masih Hidup, Jenazah ODHA pun Tak Luput dari Stigma Masyarakat
Sebagian besar masyarakat masih kerap menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan maupun sebuah kutukan
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Sebagian besar masyarakat masih kerap menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan maupun sebuah kutukan, walaupun kampanye hingga sosialisasi kerap kali dilakukan.
Anggapan ini menjadi sebuah stigma terhadap seseorang, komunitas, bahkan hingga jenazah.
Salah satunya Kristopo, Perwakilan dari Yayasan Gaya Dewata (YGD) saat ditemui disela kampanye Indonesia Tanpa Stigma, Minggu (17/2/2019), menjelaskan, stigma di masyarakat masih kerap ditemui pihaknya dalam bentuk ujaran kebencian hingga intimidasi di sosial media dari sejumlah akun, yang menganggap seluruh kegiatan Gaya Dewata negatif dan berbau porno.
“Padahal kegiatan kami justru berusaha mengadvokasi, serta mengedukasi pada teman-teman di komunitas akan bahaya HIV/AIDS, bagaimana kita harus mencegahnya, bagaimana kita harus menghindari, hingga bagaimana upaya kita memperlakukan teman-teman di komunitas yang telah positif HIV,” terangnya.
Baca: Areal Parkir Pantai Watu Klotok Tertimbun Pasir Sedalam 1 Meter, Pemkab Klungkung Lakukan Ini
Baca: Bupati Anas Targetkan Camat Gali Potensi Daerah untuk Jadi Objek Wisata
Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak hanya disematkan pada seseorang yang masih hidup.
Jenazah seseorang positif HIV/AIDS pun juga tak luput dari stigma.
Diungkapkan perwakilan Yayasan Spirit Paramacitta, Ni Putu Utami, berdasarkan konstruksi budaya tata cara penanganan jenazah biasanya diawali dengan prosesi pemandian, tak terkecuali bagi ODHA.
Namun demikian, tatkala diketahui bahwa jenazah tersebut positif HIV, ada kekhawatiran masyarakat disekitarnya akan tertular.
Terlebih jika jenazah mengeluarkan ceceran darah.
“Mereka (masyarakat) berpikirnya ceceran darah ini kuman yang bisa menularkan virus pada orang lain. Padahal kenyataannya, maksimal selama empat jam setelah kematian, virus itu sudah mati,” ujarnya.
Baca: Tikam Istri & Bayinya, Pria Ini Telanjang Bulat Lalu Berdiri di Tengah Jalan & Lakukan Hal Aneh Ini
Baca: Komunitas dan Industri Kecil Kolaborasi Kampanyekan Pengurangan Sampah Plastik ke SDN 3 Benoa
Diakui Putu Utami, stigma dan diskriminasi terhadap penanganan jenazah bagi ODHA, hingga masih kerap ditemui di beberapa kabupaten di Bali.
Walaupun, imbuhnya, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) telah menyampaikan panduan kepada majelis madia dan majelis alit di seluruh desa serta mengimbau agar tidak melakukan diskriminasi pada jenazah.
Ada satu contoh kejadian akan stigma terhadap jenazah ini, Yogi Sagita, perwakilan dari Ikatan Korban Napza Bali (IKON) menceritakan kejadian di salah satu kabupaten di Bali, dimana masyarakat banjar secara mendadak menjauh dari jenazah, saat hendak dimandikan sebagai salah satu bentuk penghormatan terakhir.
Hal tersebut menyusul adanya ungkapan dari sang adik, yang menyesalkan kematian kakaknya lantaran mengidap HIV.
“Semasa hidup, korban HIV/AIDS ini hanya bercerita pada adiknya. Dan ketika meninggal, saat hendak dimandikan oleh warga banjar, adiknya keluar dari dalam rumah dengan menangis, dan mengucapkan kalimat penyesalan itu yang juga menyangkut soal HIV. Akibatnya, jenazah yang semestinya dikubur pada pukul 13.00 Wita, mundur hingga beberapa jam hanya untuk menunggu penjelasan pihak medis. Dan setelah dijelaskan, baru beberapa perwakilan masyarakat mau ikut memandikan,” ucapnya.
Baca: Teja Tegaskan Penggunaan Insinerator di TPA Suwung Harus Sesuai Aturan
Baca: Tak Hanya Ampuh Atasi Depresi, Berikut 3 Manfaat Lain dari Mengkonsumsi Ikan Tongkol