Petani Sering Tak Mampu Antisipasi Risiko sehingga Hasil Panen Tak Laku Jual
Tidak jarang juga terlihat bahwa petani tidak mampu menghadapi tekanan pasar terhadap produk-produk pertanian khususnya pada saat musim panen raya.
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kebijakan-kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang berkaitan dengan sektor pertanian telah sering memberikan angin segar bagi para petani khususnya di pedesaan.
Salah satunya dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.
Namun, tidak jarang juga terlihat bahwa mereka tidak mampu menghadapi tekanan pasar terhadap produk-produk pertanian khususnya pada saat musim panen raya.
Menurut Ketua HKTI Buleleng sekaligus Dekan Fakultas pertanian Universitas Dwijendra, DR. Gede Sedana, seringkali para petani tidak mampu mengantisipasi secara maksimal risiko yang mungkin terjadi terhadap produk-produk yang dihasilkannya.
Secara hukum ekonomis, jumlah persediaan barang yang meningkat dan jauh lebih tinggi dari pada jumlah permintaannya, maka harga produk (pertanian) akan menjadi semakin rendah.
Baca: Sempat Tegang, Sahabat Ungkap Hubungan Pertemanan Luna Maya Pasca Reino Barack Nikahi Syahrini
Baca: Pemerkosa Wanita 35 Tahun Langsung Tewas, Korban: Saat Lengah Disiram Minyak dan Dibakar
“Rendahnya harga di tingkat petani memberikan konsekuensi logis terhadap pendapatan petani terlebih lagi jika harga-harga sarana produksi pertanian semakin meningkat,” kata Sedana saat dihubungi Tribun Bali, Jumat (8/3/2019).
Selain itu, kata Sedana, para petani belum memiliki kualitas yang memadai untuk memperoleh harga yang layak.
Juga adanya sifat produk pertanian yang perishable (tidak tahap lama), membuat para petani selalu dihantui oleh kerusakan mutu produk yang dihasilkannya.
Sehingga, produk-produknya menjadi tidak layak atau tidak laku untuk dijual.
“Kondisi ini jika dibiarkan akan memperparah tercapainya kesejahteraan para petani,” ucapnya.
Maka dari itu solusinya adalah diperlukan adanya terobosan yang aplikatif untuk mengatasi masalah dalam pascapanen.
Pemerintah dalam hal ini diharapkan memberi pendampingan kepada para petani melalui kelompoknya berupa peningkatan kapasitas dalam aspek panen, mulai dari proses penyimpanan, pengolahan, pengemasan sampai dengan pemasarannya.
“Good Postharvest Practices dan Good Manufacturing Practices agar terus dikembangkan dan diperkuat di tingkat kelompok petani,” imbuhnya.
Baca: Indeks Nilai Tukar Petani Bali Februari 2019 Naik 0,32 Persen Dibandingkan Bulan Sebelumnya
Baca: Pemprov Bali Gawangi Para Petani Bali dengan Pergub Pemakaian Produk Pertanian Lokal
Penyuluhan dan pelatihan yang berkaitan dengan aspek pascapanen menjadi kebutuhan yang mendesak guna menghindari kerusakan produk dan menjamin kualitas produk guna memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan oleh petani.
Begitu juga dengan pengelolaan pascapanen, harus menerapkan konsep agribisnis dan pembangunan industri pengolahan produk pertanian atau agroindustri agar didorong untuk menjadi bagian yang terintegrasi dengan sektor pertanian.