EKSKLUSIF Tribun Bali

Sanksi Ringan Picu Menjamurnya Pelaku Pedofilia

Dr. AAA Tini Rusmini Gorda, SH, MM, MH menilai kasus pelecehan seksual yang terjadi di lembaga atau pelaku tunggal bukan suatu kebetulan

Editor: Iman Suryanto
Tribun Bali/ Net
Ilustrasi Pedofilia 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Irma Yudistirani

PERISTIWA kejahatan seksual yang menimpa anak-anak semakin banyak terjadi layaknya jamur di musim hujan. Bukan hanya di kota-kota besar saja, pelaku kejahatan seksual juga merambah hingga pelosok-pelosok desa.

Dr. AAA Tini Rusmini Gorda, SH, MM, MH menilai kasus pelecehan seksual yang terjadi di lembaga atau pelaku tunggal bukan suatu kebetulan. Rusmini yang membuat disertasi S3-nya berjudul "Kebijakan Formulasi Pedofilia Dalam Melindungi Anak Sebagai Korban", juga membahas tentang kasus pedofilia, melihat pelaku sudah sangat "profesional".

Maraknya kasus pelecehan seksual di mana anak-anak jadi korban, dinilainya lantaran kurangnya hukuman pidana yang bisa membuat jera pelaku. Menurutnya, kejahatan seperti ini harus diberantas dengan usaha-usaha khusus.

Di antaranya, kebijakan tanpa menggunakan hukum pidana (Non Penal Policy) dan kebijakan menggunakan hukum pidana (Penal Policy).

"Kebijakan formulasi hukum pidana positif di Indonesia tidak mengatur secara limitatif terhadap perbuatan pedofilia. Hukumannya juga sangat ringan, sehingga kesannya pelaku itu diuntungkan peraturan Undang-Undang," kata Rusmini, saat di temui Tribun Bali di kediamannya, Jalan Setiyaki, Denpasar, beberapa waktu yang lalu.

Hukuman yang menurut Rusmini terlalu ringan untuk pelaku adalah Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi, "Orang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun".

Ia berpendapat, cara yang paling baik untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban adalah sanksi pidana pada pelaku harus tegas dan seberat-beratnya. Dan pemerintah wajib memberlakukannya.

Selain hukuman pidana penjara, pelaku harus dikenakan denda semaksimal mungkin. Lanjut ibu dua anak ini, denda sebaiknya dipakai sebagai ganti rugi atas apa yang dilakukan pelaku terhadap korban.

"Sebenarnya, untuk mengembalikan traumatik korban, tidak bisa digantikan oleh apapun, kecuali bantuan berupa medis dan rehabilitasi psikososial. Namun denda maksimal ini setidaknya bisa mengurangi beban keluarga korban dan korbannya," ungkapnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved