EKSKLUSIF Tribun Bali
Kehidupan Tiga Anak Lumpuh di Kawasan Elit Renon
Belum Pernah Bermain di Luar Rumah
Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Iman Suryanto
Suasana yang begitu kontras tampak di area pusat pemerintahan Provinsi Bali. Di dalam kawasan Renon, Denpasar, yang terbilang elit dan mewah itu, ternyata hidup keluarga Ketut Simpen, dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.
SORE itu, Kamis (11/9), Tribun Bali sempat berkunjung ke pondok milik keluarga Ketut Simpen (35) di rumah mereka yang sederhana di Jalan Puputan Renon, Gang Askes, Kota Denpasar. Perempuan asal Budekeling, Karangasem itu tengah membantu anak sulungnya, Wayan Widnyani (16), mengenakan pakaian.
Sementara dua anaknya yang lain, Komang Juniasih (14) dan Komang Sudarsana (7), hanya duduk diam di atas balai kayu. Saat itu, suami Simpen, Wayan Dana (40), baru saja tiba di rumah usai bekerja sebagai buruh bangunan.
Ketiga anak Simpen mengalami kelumpuhan sejak kecil. "Mereka sudah seperti itu tak lama setelah lahir. Padahal kata dokter, semuanya normal," tutur Simpen.
Terakhir kali Simpen mengobati anaknya sekitar sembilan bulan lalu. Namun mengingat biaya yang dikeluarkan cukup banyak, namun tanpa hasil apapun, akhirnya Simpen memutuskan hanya merawat anak-anaknya di rumah. Sejak pertama kali diperiksa di Rumah Sakit maupun dokter khusus, mereka tidak didiagnosis penyakit apapun. "Katanya normal," kata Simpen berulang kali.
"Tiang hanya tetap nunas ica pada Hyang Widhi. (Saya tetap memohon anugerah pada Tuhan). Semoga ada harapan mereka untuk sembuh," harap Simpen. Matanya sempat berkaca-kaca, namun Simpen tampak berusaha menegarkan dirinya.
Kediaman Simpen begitu sederhana, hanya dibuat dari kayu dan papan seadanya. Bahkan dapur miliknya hampir setengah rubuh. Atap rumahnya sempat bocor, "syukur ada yang membantu memberikan asbes. Jadi aman."
Ketiga anak Simpen hanya bisa bermain di atas balai kayu berukuran sekitar satu setengah meter. Kadang mereka berusaha keras turun ke halaman rumah yang masih beralaskan tanah. "Ya, biasanya kalau sudah sore, pakaian mereka akan sangat kotor," tambah Simpen yang sehari-harinya membantu ketiga anaknya untuk mandi, mengambilkan makanan dan keperluan lainnya.
Simpen menuturkan, belum pernah sekalipun anak-anaknya bermain ke luar rumah. Mereka berkesempatan melihat dunia di luar rumah hanya apabila ada pihak yang membantu. Apabila ingin membeli jajanan, sang ayahlah yang membelikannya.
"Pernah mereka diajak menonton bersama. Dijemput ke sini dan diberi kursi roda," ujar Simpen.
Di pojok rumah, memang tampak beberapa kursi roda, hanya saja kondisinya sudah agak berkarat. Simpen menyampaikan, kini mereka tidak lagi menggunakan kursi roda karena ia cemas apabila punggung anaknya akan bungkuk.
Selain lumpuh, ketiga anak Simpen juga mengalami gangguan pada penglihatannya. Bola mata mereka terus bergerak-gerak. Saat pertama kali melihat hal itu, Simpen sempat langsung membawa mereka ke rumah sakit karena ia cemas ada gangguan pada saraf anak-anaknya. Hanya saja, lagi-lagi dokter mengatakan bahwa mereka normal.
"Sebenarnya dulu pernah kami bawa mereka ke RS Sanglah. Katanya coba diopname. Tapi karena tidak dapat kamar, mereka dibiarkan duduk di luar. Kasihan saya melihat mereka digigit banyak nyamuk," ucapnya.
Simpen melanjutkan, "akhirnya pada malam hari, suami saya langsung melarikan mereka kembali ke rumah. Lebih baik di sini saja, kasihan di sana. Si Komang juga terus menangis."
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh keluarga Simpen. Sehari-harinya ketiga anaknya hanya bisa duduk pasrah. Sementara Simpen bekerja mengurus sawah milik pemerintah. Ia mendapat penghasilan dua atau tiga bulan sekali. Jumlah gaji yang ia terima tergantung pada hasil panen.
