EKSKLUSIF Tribun Bali
Ini Siasat Sekolah Buru "Fulus" dari Buku
di sekolah-sekolah negeri di Bali praktik mewajibkan murid-muridnya membeli buku pendamping dan LKS masih berjalan, sehingga memunculkan keluhan
Penulis: Miftachul Huda | Editor: Iman Suryanto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Larangan bagi sekolah negeri untuk mewajibkan murid-muridnya membeli buku-buku pendamping dan LKS (Lembaran Kegiatan Siswa) masih berlaku. Namun, beberapa orang tua murid mengatakan, di sekolah-sekolah negeri di Bali praktik mewajibkan murid-muridnya membeli buku pendamping dan LKS masih berjalan, sehingga memunculkan keluhan dari orang tua murid.
Padahal, karena ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari pemerintah, sekolah-sekolah negeri dilarang menarik pungutan kepada murid-murid, termasuk mewajibkan pembelian buku pendamping dan LKS, kecuali dengan kesepakatan atau secara sukarela. Dalam kenyataan, yang disebut sukarela itu sebetulnya merupakan pemaksaan secara halus.
"Saya bingung, anak saya kok terus-terusan beli buku LKS. Padahal, ketika baru masuk, sekolah bilang sudah gratis semua untuk SD negeri di Bali, termasuk buku-buku," kata orang tua dari seorang murid sebuah SD negeri di Denpasar kepada Tribun Bali pekan lalu.
Diduga, praktik mewajibkan pembelian buku pendamping dan LKS itu sebagai siasat dari pihak sekolah atau oknum guru untuk menikmati keuntungan berupa fee dan diskon dari pihak penerbit dan pemasok buku.
Orang tua murid tersebut sudah sempat memutuskan untuk tidak membeli buku-buku yang diwajibkan beli oleh pihak sekolah. "Tetapi anak saya menangis, soalnya teman-temannya beli, ya akhirnya saya beli juga," imbuh orang tua itu.
Padahal, LKS yang dijual sekolah itu bukan hanya satu. Harga buku-buku itu beragam, mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu per buah. Jumlahnya mencapai tujuh jenis. Di sekolah lain, menurut dia, bahkan jumlah buku yang wajib dibeli sampai 10 jenis.
Seorang wali murid yang lain mengatakan, di sekolah anaknya di kawasan Tonja Denpasar, murid-murid kelas 2 SD diwajibkan beli buku-buku pendamping untuk pelajaran-pelajaran seperti Bahasa Bali, Agama, Tematik, dan Bahasa Inggris.
“Padahal, buku tematik saja ada empat buah, dan anak saya baru tematik 3,” kata wali murid yang enggan disebutkan jelas jati dirinya itu.
Pewajiban pembelian buku pendamping dan LKS juga terjadi di sebuah SDN di daerah Petulu, Ubud Gianyar. Siswa diharuskan beli buku LKS untuk pelajaran Agama Hindu, IPS, IPA, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Bali, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Satu buku LKS seharga Rp 8000. "Sama sekali tidak mendapat buku pelajaran. Hanya mendapat buku LKS, dan harus dibeli," jelasnya.
Ketua Komisi D DPRD Denpasar yang membidangi pendidikan, Wayan Sugiarta menyesalkan masih adanya pungutan dan pewajiban pembelian buku di sekolah-sekolah negeri, khususnya SD di Denpasar. "Sebetulnya sudah tidak boleh lagi ada pungutan, karena sudah ada dana BOS, termasuk untuk beli buku dan LKS," terangnya.
Apalagi, lanjut dia, di Provinsi Bali sudah ada surat edaran dari Disdikpora (Dinas Pendidikan , Pemuda dan Olahraga) mengenai larangan adanya segala pungutan dan pewajiban pembelian buku serta LKS. "Untuk LKS di SD sebenarnya sudah tidak boleh lagi ada pembelian," jelasnya.
Yang masih ditoleransi, menurut Sugiarta, adalah pungutan uang komite sekolah. Itu pun dengan syarat ada kesepakatan bersama dengan orang tua/wali murid, dan bersifat sukarela.
“Iuran komite tidak boleh dipaksakan dengan dipatok sejumlah tertentu. Sedangkan LKS sebenarnya siswa sudah tidak boleh lagi diharuskan beli," paparnya.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali menegaskan belum mencabut surat edaran mengenai larangan adanya pungutan di sekolah negeri.
"Suratnya masih berlaku, belum dicabut," kata Kepala Bidang Pendidikan Menengah Disdikpora Bali, Wayan Serina, kepada Tribun Bali.
