Melarat di Pulau Surga
Penduduk Miskin Bali Meningkat Jadi 196.710 Orang, Tapi Ini yang Berkurang
Persentase penduduk miskin Bali yang terdeteksi hingga Maret 2015, lebih banyak berada di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Secara absolut, jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2015 naik sebanyak 760 orang dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin Bali pada September 2014.
Persisnya, jumlah penduduk miskin Bali pada September 2014 sebanyak 195.950 orang, sedangkan pada Maret 2015 menjadi sebanyak 196.710 orang.
Peningkatan jumlah penduduk miskin itu terkuak dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali.
Dalam survei itu, sebanyak 5.760 rumah tangga di Bali menjadi responden.
Kendati secara absolut terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin di Bali, namun secara relatif (dalam persentase) hasil Susenas BPS itu menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Bali mengalami penurunan.
Yakni dari 4,76% menjadi 4,74% dari total jumlah penduduk provinsi ini.
(POTRET Kehidupan Masyarakat Miskin di Bali Terekam Kamera di Sini)
Selain itu, ketimpangan pendapatan di Bali juga semakin menyempit, yang ditunjukkan oleh penurunan Gini Ratio.
“Oleh karena itu, secara nasional Bali masih merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terendah nomor dua setelah Provinsi DKI Jakarta,” kata Kepala BPS Bali, Panusunan Siregar, di kantor BPS Provinsi Bali di Denpasar, Selasa (15/9/2015).
Berdasarkan survei BPS itu diketahui bahwa persentase penduduk miskin Bali yang terdeteksi hingga Maret 2015, lebih banyak berada di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan.
Selama periode September 2014 - Maret 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah 600 orang: dari 109.200 orang pada September 2014 menjadi 109.800 orang pada Maret 2015.
“Sedangkan penduduk miskin di daerah pedesaan bertambah sebanyak 160 orang, yakni dari 86.760 orang pada September 2014 menjadi 86.920 orang pada Maret 2015,” kata Panusunan.
Selama periode September 2014 - Maret 2015, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan, sementara di daerah pedesaan mengalami kenaikan.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 adalah sebesar 4,35 persen dari total jumlah penduduknya, dan turun menjadi 4,31 persen pada Maret 2015.
Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik dari 5,39 persen (dari total jumlah penduduk pedesaan) pada September 2014 menjadi 5,44 persen pada Maret 2015.
Dikatakan Panusunan, angka Gini Ratio yang mengukur tingkat ketimpangan menunjukkan bahwa pemerataan pendapatan di Bali mengalami perbaikan.
Pada September 2014, angka Gini Ratio Bali adalah 0,4418. Sedangkan pada Maret 2015, Gini Ratio Bali menjadi 0,3768.
Secara teoritis, semakin rendah angka Gini Ratio berarti semakin rendah pula ketimpangan ekonomi.
“Kategori ketimpangan ekonomi di Bali adalah sedang. Dengan menurunnya Gini Ratio Bali, ini menunjukkan terjadinya perbaikan dalam pembagian kue (hasil) pembangunan di provinsi ini,” kata Panusunan.
Semakin rendahnya ketimpangan itu terlihat lebih jelas dari porsi “kue” hasil pembangunan yang dinikmati oleh kelompok masyarakat terbawah dan menengah di Bali, yang pada September 2014 masing-masing hanya mendapatkan 14,29 persen dan 35,70 persen.
Akan tetapi pada Maret 2015, dua kelompok tersebut sudah menikmati “kue pembangunan” lebih besar, yakni masing-masing sebesar 18,15 persen dan 38,25 persen.
Penurunan ketimpangan tersebut antara lain karena berkurangnya jumlah penduduk menganggur di Bali pada Maret 2015, serta lebih besarnya kue pembangunan yang dibagi.
Panusunan menambahkan, komoditas makanan berperan lebih besar terhadap pembentukan garis kemiskinan di Bali dibandingkan dengan komoditas non-makanan (seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan).
Sumbangan (biaya) makanan terhadap pembentukan garis kemiskinan pada pada Maret 2015 tercatat sebesar 68,07 persen.
Ini tidak berbeda jauh dengan kondisi September 2014 yang sebesar 69,70 persen.
Komoditas makanan tersebut antara lain beras, rokok kretek filter, daging ayam ras, telu ayam ras dan sebagainya.
Sementara itu, komoditas non-makanan yang menyumbangkan kemiskinan di Bali, komponen terbesar adalah tekanan biaya perumahan sebesar 10,07 persen untuk wilayah perkotaan dan 10,15 persen untuk wilayah pedesaan.
Berikutnya adalah komponen biaya bensin, listrik dan pendidikan untuk wilayah perkotaan. Sedangkan untuk wilayah perkotaan adalah bensin, kayu bakar serta listrik.

Struktur pengeluaran penduduk miskin di oerkotaan dan pedesaan di Bali Maret 2015. (Infografis dan ilustrasi Tribun Bali/ Prima/ Dwi Suputra)
Yang mengejutkan, ternyata biaya upacara agama atau adat masuk pula ke dalam daftar kebutuhan non-makanan yang berpengaruh terhadap garis kemiskinan di Bali.
Biaya upacara agama atau adat lainnya menduduki urutan ketiga (sebesar 3,77 persen) yang berpengaruh terhadap garis kemiskinan di wilayah perkotaan Bali.
Sedangkan untuk wilayah pedesaan, sumbangan biaya upacara dan adat lainnya malah menduduki urutan kedua, yaitu sebesar 3,32 persen.
“Pengaruh biaya upacara dan adat lainnya di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan dalam menyumbang angka kemiskinan. Mungkin, masyarakat di desa, untuk aktifitas upacara atau adat masih kalah efisien dibandingkan dengan masyarakat kota yang lebih realistis karena tekanan hidup yang lebih ketat,” jelas Panusunan. (*)
Info ter-UPDATE tentang BALI, dapat Anda pantau melalui:
Like fanpage >>> https://www.facebook.com/tribunbali
Follow >>> https://twitter.com/Tribun_Bali